NII adalah sejarah

Jumat mubarak, saudara kali ini saya mencoba untuk menyimak kilas sejarah tentang Negara Islam Indonesia, yang di proklamasikan tahun 1949 - 1962 oleh Imam NII Almarhum Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo;

bahwa NII adalah bagian dari sejarah bangsa Indonesia dan seharusnya tidak menjadi beban bagi generasi muda punya dasar yang kuat, terutama jika kita lihat konteks historis dan dampaknya saat ini ;

NII sebagai Sejarah.

NII, yang lahir dari Darul Islam di bawah Kartosoewirjo pada 1949, memang bagian dari dinamika perjuangan bangsa di masa awal kemerdekaan. Perjuangannya melawan pemerintah yang di proklamasikan tahun 1945, mencerminkan konflik ideologi antara nasionalisme Pancasila dan teokrasi Islam pada saat itu. Namun, setelah Imam NII Sekarmaji Maridjan Kartosoewirjo dieksekusi pada 1962 dan gerakan itu ditekan, NII lebih menjadi catatan sejarah ketimbang kekuatan aktif yang relevan secara luas. Bagi banyak orang, NII adalah pelajaran tentang bagaimana Indonesia membentuk identitasnya melalui tantangan internal—bukan sesuatu yang harus terus dihidupkan.

Beban Generasi Muda.

Kalau NII dijadikan beban bagi generasi muda—entah sebagai ideologi yang dipaksakan atau romantisme perjuangan—itu bisa mengalihkan fokus dari tantangan masa kini yang semakin hari semakin membutuhkan perhatian bangsa dan negara seperti pembangunan ekonomi yang sangat kompetitive.

Generasi muda tidak perlu "mewarisi" konflik lama yang sudah selesai dalam konteksnya sendiri. Pemerintah, melalui berbagai macam Institusi terkait, telah menjalankan program deradikalisasi, juga berupaya memastikan ideologi NII tidak lagi jadi ancaman, menegaskan bahwa itu adalah masa lalu yang tidak perlu dibangkitkan.

Menjadikan NII sebagai alat pemberdayaan komunitas adalah sebuah Kesalahan.

Argumen bahwa menjadikan perjuangan NII sebagai alat untuk memberdayakan komunitas adalah kesalahan bisa dilihat dari beberapa sudut:

- Konteks Historis yang Berbeda ; Perjuangan NII lahir dari situasi spesifik pasca-kolonial—ketidakpuasan terhadap perjanjian Renville dan kekacauan politik. Kondisi itu tidak relevan lagi di Indonesia modern yang sudah stabil dan plural.

- Dampak Negatif; Sejarah menunjukkan NII membawa perpecahan, kekerasan, dan penderitaan, seperti di Jawa Barat atau Aceh era 1950-an. Menghidupkannya kembali berarti mengabaikan realitas itu demi romantisme yang tidak realistis.

- Pragmatisme dan Hipokrasi ; Figur tokoh yang dikaitkan dengan NII modern, justru menunjukkan kontradiksi—menggunakan narasi agama untuk kepentingan subyektif, dugaan TPPU, pengelolaan dana Yayasan yang jauh dari amanah Undang-undang Yayasan. Tentu semuanya jauh dari idealisme murni yang mungkin diidolakan.

Sudut Pandang Lain.

Namun, ada yang mungkin berargumen bahwa mengidolakan NII bukan sepenuhnya kesalahan, melainkan cerminan ketidakpuasan terhadap sistem saat ini—korupsi, ketimpangan, atau sekularisme yang dianggap berlebihan. Bagi segelintir orang, NII mungkin dilihat sebagai simbol perlawanan. Tapi, bahkan dalam pandangan ini, solusi masa kini seharusnya tidak terpaku pada model sejarah yang berbeda setting socio cultural

NII memang sejarah—bagian dari perjalanan bangsa yang penuh liku. Membiarkannya tetap sebagai pelajaran, bukan beban atau idola, memungkinkan generasi muda fokus membangun masa depan tanpa terjebak dalam nostalgia yang tidak produktif. Kalau ada yang mengidolakan NII, itu bisa jadi kesalahan dalam arti mereka mengabaikan realitas sejarah dan konteks kekinian yang jauh lebih kompleks.

Perkembangan gerakan yang mengindentisir diri sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) mencerminkan adaptasi gerakan ini terhadap tekanan politik, sosial, dan hukum sepanjang sejarahnya. Dari visi awal yang militan dan terstruktur di bawah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo hingga bentuknya yang lebih terfragmentasi dan pragmatis di era modern, ideologi NII telah mengalami evolusi signifikan :

1. Fase Awal: Ideologi Militan dan Pemberontakan (1949 - 1962).

- Konteks ; NII lahir dari Darul Islam (DI) di tengah kekacauan pasca-kemerdekaan. Tujuan awalnya sangat tegas: mendirikan negara Islam melalui perjuangan bersenjata melawan pemerintah sekuler.

- Ciri Utama ;

- Penolakan total terhadap Pancasila dan negara nasional.

- Penerapan syariat secara langsung di wilayah yang dikuasai (misalnya, Jawa Barat dan Aceh).

- Struktur hierarkis dengan Kartosoewirjo sebagai "Imam Negara”

- Perkembangan; Ideologi ini murni revolusioner, fokus pada jihad fisik. Namun, setelah Kartosoewirjo ditangkap dan dieksekusi pada 1962, basis militernya runtuh, memaksa ideologi beralih ke fase baru.

2. Fase Bawah Tanah: Kelangsungan di Tengah Represi (1960-an - 1980-an).

- Konteks ; Orde Baru di bawah Soeharto menganggap NII sebagai ancaman ideologis terhadap Pancasila. Operasi militer dan intelijen memaksa gerakan ini beroperasi secara sembunyi-sembunyi.

- Perkembangan Ideologi ;

- Fokus pada Rekrutmen ; NII mulai menargetkan individu atau kelompok kecil, sering melalui pendekatan personal seperti baiat, dengan janji utopia Islam.

- Fragmentasi ; Tanpa pemimpin tunggal, muncul berbagai faksi dengan "imam" lokal, seperti Ajengan Masduki atau kelompok di Lampung (kasus Peristiwa Talangsari 1989).

- Pragmatisme ; Beberapa faksi mulai menggunakan taktik non-kekerasan, seperti propaganda dan pengumpulan dana, meskipun inti ideologi—negara syariat—tetap sama.

- Tantangan ; Represi keras Orde Baru membuat ideologi ini sulit berkembang terbuka, tapi justru memperkuat narasi "korban kezaliman" di kalangan pendukung.

3. Fase Reformasi: Kebangkitan dan Diversifikasi (1998 - 2010-an).

- Konteks ; Jatuhnya Soeharto membuka ruang kebebasan berekspresi, termasuk bagi kelompok-kelompok radikal. NII memanfaatkan momen ini untuk merevitalisasi diri.

- Perkembangan Ideologi ;

- Adaptasi Modern ; NII tidak lagi hanya mengandalkan kekerasan, tapi juga pendekatan "soft" seperti pendidikan dan komunitas. Tentang hal ini Ada kesalah fahaman tentang Pondok Pesantren Al-Zaytun yang diduga jadi wadah penyebaran ideologi NII. ( kesalah fahaman yang luas beredar bukan karena hasil studi mendalam, tetapi lebih dikarenakan rumor dan kedengkian)

- Narasi Digital ; Di era internet, propaganda NII mulai menyebar lewat ceramah online, buku, atau jaringan tertutup, menargetkan generasi muda.

- Kompromi Taktis ; Beberapa faksi tampak lebih fleksibel, misalnya dengan tidak secara terbuka menyerang negara, tapi tetap menanamkan ide anti-Pancasila secara subtil.

- Contoh Kasus ; Seorang tokoh yang dikaitkan dengan NII (salah satu cabang), menggabungkan ideologi teokratis dengan sistem ekonomi yang kompleks, menunjukkan evolusi ke arah pragmatisme.

4. Fase Kontemporer: Antara Radikalisasi dan Penyamaran (2010-an - 2025).

- Konteks ; Pemerintah modern (terutama pasca-Undang-Undang Terorisme 2003 dan pembentukan BNPT) semakin agresif menekan NII. Namun, ideologi ini tetap bertahan dalam bentuk yang lebih terselubung.

- Perkembangan Ideologi ;

- Hibridisasi ; NII kini bercampur dengan elemen lokal atau kepentingan pribadi. Misalnya, sebuah institusi pendidikan dituduh memanfaatkan ideologi untuk mengumpulkan dana besar, yang berakibat jeratan hukum TPPU .

- Penolakan Terbuka Berkurang ; Banyak faksi tidak lagi secara eksplisit menyerukan pemberontakan, melainkan fokus pada "hijrah" ideologis—mengajak umat meninggalkan sistem sekuler secara bertahap.

- Resistensi Simbolik ; Meski tertekan, NII tetap mempertahankan simbol-simbol seperti baiat atau klaim "imam," dan jeratan ketaatan buta.

- Tantangan Modern.

- Program deradikalisasi BNPT melemahkan basis ideologisnya.

- Publik semakin kritis terhadap narasi NII, terutama setelah kasus-kasus hukum yang telah dan sedang berjalan.

Faktor Pendukung Perkembangan.

- Fleksibilitas ; Ideologi NII mampu menyesuaikan diri dengan zaman, dari perang gerilya ke pendekatan institusional seperti lembaga pendidikan.

- Daya Tarik Emosional ; Narasi "kembali ke Islam murni" tetap memikat bagi sebagian kecil umat yang merasa kecewa dengan sistem saat ini.

- Kelemahan Penegakan Hukum; Celah dalam sistem hukum atau lambatnya proses kadang memberi ruang bagi NII untuk bertahan.

Kondisi Terkini (2025).

Hingga Maret 2025, ideologi NII tidak lagi punya kekuatan militer seperti era DI, tapi tetap eksis sebagai gerakan bawah tanah yang terfragmentasi. Kasus Tokoh yang sering dikaitkan dengan NII - dengan vonis penodaan agama dan dakwaan TPPU—menunjukkan bahwa ideologi ini kini sering bercampur dengan kepentingan pribadi atau ekonomi, meskipun inti anti-sekuler dan pro-syariatnya masih ada. BNPT melaporkan bahwa rekrutmen NII di kalangan atau cabang lain masih terjadi, terutama di kalangan muda yang rentan radikalisasi.

Terkait dengan NII dan perkembangannya, ada pandangan yang mengatakan bahwa Negara Islam Indonesia (NII) lebih merupakan gerakan politis yang hipokrit ketimbang ideologis murni memang bisa jadi sudut pandang yang menarik untuk diperdebatkan. Mari kita simak argumen ini dengan melihat bukti sejarah dan perilaku gerakan ini, termasuk kontradiksi yang mungkin mendukung klaim tersebut.

Argumen: NII sebagai Gerakan Politis.

1. Tujuan Kekuasaan, Bukan Ideologi Murni.

- Dari awal, pendirian NII oleh Kartosoewirjo pada 1949 bisa dilihat sebagai respons politik terhadap kekecewaan atas perjanjian Renville (1948), yang melemahkan posisi militer Islam di Jawa Barat. Daripada sekadar memperjuangkan syariat, NII tampak ingin menguasai wilayah dan menantang otoritas nasionalis.

- Di era modern, yang diarahkan kepada salah satu figur dengan gerakan pemberdayaan komunitas dan pendidikannya, lebih terlihat mengejar pengaruh politik dan ekonomi—membangun "kerajaan" pribadi dengan dana miliaran yang di kumpulkan dari komunitas yang tidak pernah di edukasi, daripada konsisten menerapkan syariat secara ideologis.

2. Manipulasi untuk Mobilisasi.

- NII sering memanfaatkan sentimen agama untuk merekrut pengikut, tapi tindakan konkretnya—seperti pengumpulan dana melalui baiat yang berakhir dengan dakwaan dugaan pidana - lebih mirip strategi politik untuk memperkuat basis kekuatan ketimbang mewujudkan negara Islam sejati.

- Contoh: Seorang tokoh yang di anggap sebagai kelanjutan perjuangan NII, diduga mengelola dana Al-Zaytun dengan pola "structuring" dan "mingling," yang menunjukkan pragmatisme finansial, bukan pengabdian pada visi teokratis.

3. Adaptasi demi Kelangsungan.

- Ideologi NII yang awalnya militan (jihad bersenjata) berubah jadi pendekatan "soft" di era modern, seperti pendidikan atau propaganda subtil. Ini bisa diartikan sebagai taktik politik untuk bertahan di tengah tekanan, bukan komitmen ideologis yang konsisten.

Argumen: Hipokrasi dalam NII.

1. Ketidaksesuaian Perkataan dan Perbuatan.

- NII mengklaim menolak sistem sekuler, tapi beberapa pemimpinnya selalu terlibat dalam proses hukum negara yang justru mengakui otoritas sistem yang mereka tentang. Ini kontradiktif dengan ideologi anti-sekuler.

- Seorang tokoh yang selalu dikaitkan dengan klaim "Imam NII," tapi di pengadilan ia mengelak dan menyangkal keterkaitan, menunjukkan sikap oportunis ketimbang prinsip ideologis.

2. Eksploitasi Pengikut.

- Narasi "negara syariat" sering jadi alat untuk memeras dana dari pengikut melalui baiat atau sumbangan, tapi hasilnya tidak jelas digunakan untuk apa selain kepentingan elit bahkan pribadi dan keluarga. Kasus dugaan TPPU, memperkuat kesan bahwa gerakan ini lebih tentang keuntungan pribadi daripada perjuangan mulia.

3. Kompromi dengan Realitas.

- Jika NII benar-benar ideologis, mereka akan menolak segala bentuk kerja sama dengan sistem "kafir." Namun, faksi-faksi NII sering beradaptasi dengan lingkungan politik—misalnya, gerakan ekonomi dan pendidikan masih beroperasi sebagai lembaga legal di bawah negara—yang menunjukkan hipokrasi pragmatis.

Lawan Argumen: Tetap Ideologis?.

- Meski ada unsur politis, inti ideologi NII—penolakan Pancasila dan visi syariat—tetap konsisten sejak era Kartosoewirjo hingga sekarang. Pemberontakan DI di 1950-an atau rekrutmen modern menunjukkan bahwa ideologi ini bukan sekadar kamuflase politik.

- Adaptasi taktik (dari perang ke propaganda) bisa dilihat sebagai strategi bertahan, bukan bukti hilangnya ideologi. Banyak yang tetap memelihara narasi anti-sekuler meski dalam bentuk terselubung.

Jadi yang mengatakan NII lebih politis dan hipokrit, ada dasar kuat untuk itu: gerakan ini sering kali terlihat lebih fokus pada kekuasaan, dana, dan pengaruh daripada implementasi syariat yang konsisten. Hipokrasi muncul dalam kontradiksi antara retorika suci dan tindakan pragmatis atau eksploitatif. Namun, sulit menyangkal bahwa ideologi tetap jadi perekat awal dan daya tariknya—meskipun mungkin hanya alat untuk mengeksploitasi komunitasnya.

Wasiat Sekarmaji Maridjan Kartosurwirjo.

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, sebagai pendiri dan pemimpin Negara Islam Indonesia (NII) serta Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), tidak pernah secara eksplisit mencantumkan wasiat atau perintah kepada pengikutnya untuk mentaati Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) atau Pancasila dalam catatan sejarah yang tersedia.

Hal ini dapat dipahami karena perjuangan Kartosoewirjo justru bertentangan dengan dasar negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 45. Ia mendeklarasikan NII pada 7 Agustus 1949 dengan tujuan mendirikan negara teokrasi Islam yang menolak sekulerisme dan konstitusi Indonesia saat itu, yang ia anggap tidak sesuai dengan syariat Islam.

Namun, ada konteks penting yang perlu diperhatikan terkait akhir perjuangannya. Setelah ditangkap pada Juni 1962, Kartosoewirjo mengeluarkan perintah kepada pengikutnya untuk menghentikan perlawanan bersenjata dan menyerah kepada pemerintah Indonesia. Perintah ini dikeluarkan dalam keadaan ia sudah menjadi tahanan dan menyadari bahwa perjuangan fisik DI/TII tidak lagi dapat dilanjutkan.

Meskipun perintah tersebut tidak secara langsung menyebutkan ketaatan pada UUD 45 atau Pancasila, tindakan ini bisa diinterpretasikan sebagai bentuk pengakuan realitas politik bahwa otoritas negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 45 telah menguasai situasi.

Fakta Historis:

- Penolakan terhadap Pancasila dan UUD 45**: Selama perjuangannya, Kartosoewirjo secara konsisten menolak Pancasila sebagai dasar negara karena ia menganggapnya tidak mencerminkan hukum Islam sepenuhnya. NII memiliki konstitusi sendiri yang disebut "Qanun Assasi," yang berbasis syariat Islam.

- Perintah Menyerah ; Perintah kepada pengikutnya untuk menyerah pada 1962 lebih merupakan langkah pragmatis untuk mengakhiri konflik berdarah, bukan bentuk dukungan ideologis terhadap Pancasila atau UUD 45.

- Tidak Ada Wasiat Tertulis untuk Mentaati Pancasila/UUD 45; Dalam berbagai sumber sejarah, termasuk kesaksian keluarga seperti anak-anaknya (Tahmid Basuki Rahmat dan Sardjono), wasiat Kartosoewirjo lebih menekankan pada keimanan kepada Allah, keteguhan pada syariat Islam, dan nasihat keluarga, tanpa menyebut ketaatan pada dasar negara Indonesia.

Kesimpulan:

Tidak ada bukti bahwa Kartosoewirjo meninggalkan wasiat spesifik kepada pengikut NII untuk mentaati UUD 45 atau Pancasila. Perjuangannya hingga akhir hayat tetap berfokus pada visi negara Islam, dan perintah menyerah yang ia keluarkan lebih merupakan respons terhadap kekalahan militer, bukan perubahan ideologi.

Jika ada narasi tentang ketaatan kepada Pancasila atau UUD 45 yang dikaitkan dengan pengikutnya pasca-kematiannya, itu lebih mungkin berasal dari proses reintegrasi atau propaganda pemerintah Indonesia untuk melemahkan pengaruh DI/TII, bukan dari wasiat Kartosoewirjo sendiri.