YPI ATAU NII?

Dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang menjerat terdakwa, pemangku Pondok Pesantren Al Zaytun, fokus utama penegakan hukum memang tertuju pada aktivitas yang berkaitan dengan Yayasan Pesantren Indonesia (YPI), bukan pada dugaan keterkaitan dengan Negara Islam Indonesia (NII). Berdasarkan hasil penyidikan dan dakwaan jaksa penuntut umum, TPPU ini berakar pada pengelolaan dana yayasan yang diduga disalahgunakan oleh terdakwa untuk kepentingan pribadi, bukan untuk mendukung ideologi atau operasional NII.

Penyidik dari Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri telah menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka TPPU sejak November 2023. Dugaan ini bermula dari tindak pidana awal berupa penggelapan dan penyalahgunaan dana yayasan. Salah satu bukti kunci adalah fakta hukum pinjaman yang ditandatangani secara pribadi tetapi cicilannya dibayar oleh yayasan. Selain itu, ditemukan pola pencucian uang seperti *structuring* (memecah transaksi agar tidak terdeteksi) dan *mingling* (mencampur dana ilegal dengan dana legal), yang mengindikasikan upaya menyamarkan asal-usul uang tersebut.

Meskipun terdakwa selalu dikaitkan dengan NII dalam narasi publik—terutama karena penelitian MUI pada 2002 yang menyebut adanya indikasi hubungan antara Al Zaytun dan NII KW9—kasus TPPU ini tidak menjadikan keterkaitan dengan NII sebagai dasar penyidikan. Fokusnya adalah pelanggaran terhadap UU Yayasan (Pasal 70 jo Pasal 5 UU No. 28 Tahun 2004) dan UU TPPU (Pasal 3, 4, atau 5 jo Pasal 10 UU No. 8 Tahun 2010), serta Pasal 372 KUHP tentang penggelapan. Penyidik juga telah memblokir banyak rekening terkait dengan terdakwa dan menyita aset atas nama terdakwa dan anak cucunya, yang semuanya diasosiasikan dengan aktivitas yayasan, bukan entitas lain seperti NII.

Jadi, TPPU ini memang tidak terkait langsung dengan NII, melainkan berpusat pada penyalahgunaan dana Yayasan Pesantren Indonesia yang mengelola Al Zaytun.

Oleh sebab itu pada catatan saya sebelumnya, saya selalu ingatkan bahwa kesaksian dalam kasus TPPU ini sama sekali tidak terkait dengan NII dan saksinya harus mereka yang faham masalah, bukan saksi yang terlihat tua dan terdakwa yang senang dibilang awet muda saja. ( saya simak rekaman kesaksian saksi yang hadir tgl 9 April kemaren),

Dalam konteks hukum, khususnya kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), kesaksian yang bersifat "katanya" atau hearsay (kabar angin) - qiila wa qoola - umumnya tidak memiliki bobot hukum yang kuat dan biasanya tidak dapat dipertimbangkan oleh hakim sebagai alat bukti yang sah. Dalam sistem peradilan di Indonesia, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), saksi harus memberikan keterangan berdasarkan apa yang mereka lihat, dengar, atau alami sendiri secara langsung (de auditu atau de visu), bukan berdasarkan cerita orang lain.

Untuk dianggap valid, kesaksian harus:

1. Jelas dan Spesifik. Saksi harus bisa menjelaskan detail peristiwa, waktu, tempat, dan pihak-pihak yang terlibat.

2. Relevan. Keterangan harus berkaitan langsung dengan unsur-unsur TPPU, seperti asal-usul harta, transaksi mencurigakan, atau tindakan penyembunyian.

3. Konsisten. Keterangan tidak boleh bertentangan dengan fakta lain atau alat bukti yang ada.

4. Dukungan Bukti Lain. Kesaksian akan lebih kuat jika didukung oleh bukti lain, seperti dokumen, rekam transaksi, atau bukti digital.

Jika kesaksian hanya berupa "katanya" tanpa dasar yang jelas atau tidak bisa diverifikasi, hakim biasanya akan mengesampingkannya karena tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti yang sah. Dalam praktiknya, jaksa atau penyidik juga akan memprioritaskan saksi yang punya pengetahuan langsung atau bukti pendukung, seperti pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) atau saksi ahli yang bisa menjelaskan pola transaksi TPPU.

Dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), proses pembuktian tidak hanya bergantung pada kesaksian semata mata, melainkan pada rangkaian alat bukti yang saling mendukung. Berdasarkan hukum di Indonesia, khususnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU serta Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), TPPU adalah kejahatan yang kompleks dan biasanya dibuktikan melalui pendekatan "follow the money". Artinya, bukti material seperti dokumen transaksi, aliran dana, dan aset sering kali menjadi kunci utama, bukan hanya keterangan saksi.

Berikut poin-poin pentingnya:

1. Alat Bukti Utama.

- Dokumen. Rekening bank, bukti transfer, laporan transaksi keuangan mencurigakan (dari PPATK misalnya), atau dokumen kepemilikan aset.

- Bukti Elektronik. Data digital seperti email, riwayat komunikasi, atau jejak transaksi online perbankan.

- Aset Fisik. Harta benda yang tidak sesuai dengan penghasilan resmi pelaku. Dan ini sudah dilakukan penyitaan oleh penyidik

2. Peran Saksi.

- Saksi memang penting untuk memberikan konteks atau menguatkan alat bukti lain, misalnya saksi yang terlibat langsung dalam transaksi atau yang mengetahui asal-usul dana. Namun, jika berdiri sendiri tanpa dukungan bukti lain, kesaksian cenderung lemah.

- Saksi ahli (seperti ahli keuangan atau forensik) sering digunakan untuk menganalisis aliran dana atau pola pencucian uang.

3. Sistem Pembuktian TPPU.

- TPPU tidak mensyaratkan adanya putusan pidana sebelumnya (non-conviction based). Artinya, meskipun kejahatan asalnya (predicate crime) belum terbukti di pengadilan, TPPU bisa tetap diproses selama ada bukti cukup tentang aktivitas pencucian uang itu sendiri.

- Pendekatan ini membuat bukti transaksi dan jejak keuangan lebih krusial dibandingkan hanya mengandalkan cerita saksi.

4. Contoh Praktik. Dalam kasus-kasus besar TPPU di Indonesia, seperti yang melibatkan tindak pidana awal penyalah gunaa\an wewenang di yayasan, penyidik biasanya mengandalkan laporan PPATK, bukti kepemilikan aset yang tidak wajar, dan rekonstruksi aliran dana, bukan hanya keterangan orang per orang.

Jadi, meskipun saksi bisa membantu membangun narasi, TPPU lebih bergantung pada bukti objektif yang bisa dilacak dan diverifikasi.

5. Dalam konteks kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), yang kita bicarakan kali ini, kesaksian memang harus jelas dan spesifik agar dapat dianggap valid di mata hukum. Saksi diharapkan memberikan keterangan yang faktual, terperinci, dan tidak ambigu mengenai peristiwa atau transaksi yang terkait dengan dugaan pencucian uang. Kejelasan ini penting untuk membantu penyidik atau hakim memahami alur kejadian, asal-usul dana, serta keterlibatan pihak-pihak tertentu.

Kesimpulan.

Pertanyaannya adalah apakah kesaksian saksi yang hadir pada persidangan kemaren sudah cukup untuk dipertimbangkan oleh Majelis Hakim?.

Menurut saya sudah cukup baik untuk seseorang yang sudah meninggalkan perjuangan pendidikan sejak tahun 2011. Setidaknya secara umum Majelis hakim bisa memahami kontruksi permasalahan yang berakhir dengan dakwaan TPPU.

Hal lain jika kita semua teliti didalam menyimak dialog antara terdakwa dan saksi, terkait dengan KTP. Maka bisa disimpulkan bahwa bagi siapapun NII bukanlah tujuan perjuangan, tetapi alat untuk justifikasi pengumpulan uang dan sumber daya manusia.

Terdakwa memang kerap menyatakan bahwa Negara Islam Indonesia (NII) sudah tidak ada lagi, sebagaimana ia pernah menegaskan, "NII sudah selesai." Pernyataan ini biasanya ia gunakan untuk membantah keterkaitannya dengan gerakan tersebut, terutama di tengah kontroversi yang melibatkan dirinya dan Pondok Pesantren Al-Zaytun. Namun, tuduhan bahwa NII masih digunakan sebagai alat untuk mencari dukungan dana tetap muncul dari berbagai pihak, menciptakan narasi yang kontradiktif.

Di sisi lain, terdakwa sendiri membantah tuduhan ini dan mengklaim bahwa sumber dana Al-Zaytun berasal dari yayasan, donasi masyarakat, serta bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah—bukan dari aktivitas NII. Ia juga menyebut tuduhan pencucian uang atau penyalahgunaan dana sebagai hal yang tidak masuk akal, dengan alasan bahwa dana BOS terlalu kecil untuk dikorupsi.

Namun, tuduhan bahwa NII digunakan untuk mencari dukungan dana tidak sepenuhnya bisa diabaikan. Laporan dari mantan anggota NII dan investigasi pihak berwenang menunjukkan adanya aliran dana yang mencurigakan, termasuk dari rekening yang terkait dengan terdakwa. Misalnya, pada 2011, polisi menemukan bukti aliran dana dari pengurus NII Jawa Tengah ke terdakwa, dan pada 2023, dan semua anggota komunitas hakkul yakin bahwa dana sebagian besar dari mereka melalui Gubernur NII, siapa Gubernur NII ?. Semua tertuang dalam gugatan perdata. Dan Ini semua memperkuat dugaan bahwa, meskipun terdakwa mengklaim NII sudah bubar, jejak organisasi tersebut masih dimanfaatkan secara langsung untuk menggalang dana.

Terdakwa bersikeras NII tidak lagi eksis dan tuduhan terhadapnya tidak berdasar, sementara saksi kemaren menyatakan bahwa NII, masih ada dan tetap menjadi alat untuk mengumpulkan dukungan finansial. Mana yang benar? Tanpa bukti hukum yang final, ini masih jadi perdebatan terbuka. Yang jelas, kekayaan Al-Zaytun dan ratusan rekening yang dibekukan PPATK menunjukkan ada sesuatu yang rumit di balik operasinya—apakah itu murni dari NII atau tidak, sulit dipastikan hanya dari pernyataan satu pihak.

Jadi dialog antara Saksi dan terdakwa kemaren adalah dialog Abunawas, yang bisa dimaknai sebagai dialog pertunjukan hipokrisi.