Masih Terkait dengan kesaksian dalam siding perkara TPPU di PN Indramayu tinggal 9 April yang akan datang. mungkin yang akan dihadirkan adalah:
1. Silmi Aluia 2. Mujatahij Azwar
3. Alfi Satria 4. Nursing A.T 5.Bambang Triyoga
Tentu saja, jika terdapat lima saksi dalam sidang TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang), dengan dua di antaranya mantan aktivis Al Zaytun dan tiga lainnya masih aktif, perbedaan dalam kesaksian mereka sangat mungkin terjadi. Perbedaan ini bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti:
Perspektif dan Pengalaman: Mantan aktivis mungkin memiliki pandangan yang berbeda karena mereka sudah tidak lagi terlibat dalam kegiatan Al Zaytun breathing tahun,. Mereka bisa jadi lebih kritis atau memiliki informasi yang didasarkan pada pengalaman masa lalu, bahkan mungkin ada motif pribadi seperti kekecewaan atau penyesalan yang memengaruhi kesaksian mereka. Sebaliknya, aktivis yang masih aktif cenderung memiliki loyalitas atau kepentingan untuk melindungi organisasi, sehingga kesaksian mereka mungkin lebih mendukung atau membela Terdakwa.
Akses Informasi: Aktivis yang masih aktif mungkin memiliki akses terhadap informasi terbaru atau konteks internal yang tidak diketahui oleh mantan aktivis. Sebaliknya, mantan aktivis bisa mengungkap hal-hal yang terjadi di masa lalu yang sudah tidak lagi relevan atau diketahui oleh aktivis aktif.
Tekanan atau Kepentingan: Saksi yang masih aktif mungkin merasa tertekan untuk menyelaraskan kesaksian mereka dengan kepentingan organisasi atau Terdakwa, sementara mantan aktivis, yang sudah lepas dari ikatan tersebut, bisa lebih bebas bicara—meskipun tidak menutup kemungkinan mereka juga punya agenda sendiri.
Kredibilitas dan Objektivitas: Hakim atau jaksa dalam sidang TPPU biasanya akan menilai kredibilitas masing-masing saksi. Perbedaan status (mantan vs. aktif) bisa menjadi poin untuk mempertanyakan objektivitas mereka. Misalnya, mantan aktivis bisa dianggap memiliki dendam, sementara yang masih aktif bisa dianggap bias karena masih terlibat Dan tahun dengan Terdakwa yang punya kebiasaan tertentu yang mereka ketahui.
Dalam konteks sidang TPPU, yang mungkin terkait dengan terdakwa sebagai pemangku London Pesantren Al Zaytun, perbedaan kesaksian ini akan menjadi bahan penting bagi majelis hakim untuk mencari kebenaran materiil. Hakim biasanya akan mencocokkan kesaksian tersebut dengan alat bukti lain, seperti dokumen transaksi, rekam jejak keuangan, atau keterangan saksi lain di luar aktivis tersebut. Jadi, walaupun kesaksian mereka berbeda, yang terpenting adalah bagaimana bukti-bukti lain mendukung atau menyanggah pernyataan mereka.
Dua saksi mantan aktifis Alzaytun akan Lebih dominan bersaksi tentang NII sebagai sumber Dana.
Jika dua saksi mantan aktivis Al Zaytun lebih dominan bersaksi tentang NII (Negara Islam Indonesia) sebagai sumber dana, ini bisa mencerminkan beberapa hal yang menarik dalam konteks sidang TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang):
Latar Belakang Keterlibatan NII: NII dikenal sebagai gerakan yang pernah memiliki pengaruh signifikan di Indonesia, dengan ideologi yang kontroversial dan jejaring yang luas. Jika mantan aktivis Al Zaytun menyoroti NII sebagai sumber dana, mereka mungkin ingin menunjukkan bahwa aliran keuangan yang masuk ke Al Zaytun—berasal dari sumber yang dianggap ilegal atau terkait dengan aktivitas radikal. Ini bisa menjadi poin krusial dalam sidang TPPU, karena asal-usul dana yang tidak sah adalah elemen utama yang harus dibuktikan.
Motivasi Mantan Aktivis: Sebagai mantan aktivis, mereka mungkin memiliki pengetahuan mendalam tentang operasional internal Al Zaytun di masa lalu, termasuk dugaan hubungan dengan NII. Dominasi kesaksian tentang NII bisa jadi strategi untuk mengalihkan fokus dari tanggung jawab pribadi mereka saat masih aktif, sekaligus memperkuat narasi bahwa Al Zaytun bukan entitas mandiri, melainkan bagian dari jaringan yang lebih besar. Ini juga bisa menjadi cara untuk "mencuci tangan" atau mendapatkan keringanan dengan mengungkap pihak lain. know masih aktif is tersebut masih aktif dalam kegiatan NII seperti yang ditabgkap di Tasikmalaya Beberapa waktu yang lalu.
Kontrast dengan Aktivis Aktif: Sementara itu, dua saksi yang masih aktif di Al Zaytun kemungkinan besar akan menghindari atau bahkan membantah keterkaitan dengan NII. Mereka mungkin lebih fokus membela legalitas sumber dana Al Zaytun, misalnya dengan menekankan bahwa dana berasal dari donasi umat, yayasan, atau kegiatan bisnis yang sah. Perbedaan ini akan menciptakan kontradiksi yang tajam dalam persidangan, dan jaksa atau hakim akan perlu bukti konkret seperti dokumen transfer atau catatan keuangan—untuk menentukan mana yang lebih kredibel.
Implikasi dalam TPPU: Dalam kasus TPPU, jaksa harus membuktikan dua hal utama:
(a) adanya dana dari sumber ilegal (predicate crime),
dan (b) upaya menyamarkan atau mengintegrasikan dana tersebut ke dalam sistem keuangan yang sah.
Jika mantan aktivis berhasil meyakinkan bahwa NII adalah sumber dana, ini bisa memperkuat argumen bahwa ada predicate crime (misalnya, pendanaan terorisme atau pengumpulan dana ilegal). Namun, tanpa bukti fisik seperti aliran rekening atau dokumen pendukung, kesaksian mereka bisa dianggap lemah atau sekedar omon omon.
Konteks Historis: Secara historis, terdakwa memang pernah dikaitkan dengan NII KW 9 (salah satu faksi NII) sebelum mendirikan Al Zaytun, menurut beberapa laporan dan pengakuan di masa lalu. Jika mantan aktivis mengangkat ini, mereka mungkin mencoba menghubungkan masa lalu tersebut dengan aktivitas keuangan saat ini, meskipun hubungan langsung antara NII dan Al Zaytun modern belum tentu terbukti kuat di pengadilan.
Jadi, dominasi kesaksian mantan aktivis tentang NII sebagai sumber dana bisa menjadi senjata bermata dua: di satu sisi, memperkuat dugaan TPPU jika didukung bukti, tapi di sisi lain, bisa melemah jika ternyata hanya berdasarkan cerita tanpa data konkret. Hakim kemungkinan akan sangat bergantung pada alat bukti lain untuk menguji kebenaran klaim ini, terutama jika saksi aktif menyanggahnya dengan narasi yang sama kuatnya.
Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang menjerat terdakwa pemangku Pondok Pesantren Al Zaytun, memang memiliki keterkaitan erat dengan dugaan manipulasi manajemen Yayasan Pesantren Indonesia (YPI), yang menjadi wadah operasional pesantren tersebut :
Dugaan Manipulasi Manajemen Yayasan.
Terdakwa diduga memanfaatkan posisinya sebagai pimpinan YPI untuk melakukan manipulasi dalam pengelolaan keuangan yayasan. Salah satu pola utama yang terdeteksi adalah pengalihan dana yayasan untuk kepentingan pribadi, yang kemudian disamarkan melalui berbagai transaksi keuangan.
Manipulasi ini meliputi:
Pengendalian Penuh atas Keuangan: Terdakwa memiliki otoritas tunggal atas semua transaksi keuangan YPI. Ini memungkinkan dia untuk mengarahkan dana yayasan ke rekening pribadi tanpa pengawasan yang memadai dari Dewan Pembina. Dalam sidang dan penyidikan, terungkap bahwa dari sejumlah rekening yang terkait dengan kasus ini, sebagian besar rekening atas nama terdakwa dan digunakan untuk mengelola aliran dana yayasan.
Pinjaman Yayasan untuk Kepentingan Pribadi: Salah satu bukti konkret adalah pinjaman sebesar Rp73 miliar yang diajukan atas nama YPI dari Bank J Trust pada 2019. Dana ini masuk ke rekening pribadi Terdakwa, namun cicilannya dibayar menggunakan dana yayasan. Ini menunjukkan adanya manipulasi dalam struktur manajemen keuangan, di mana yayasan dijadikan "alat" untuk membiayai kebutuhan pribadi tanpa proses yang sah. ( menurut pendapat saya perlu di perdalam )
Pembelian Aset atas Nama Pribadi atau Keluarga: diduga Dana yayasan juga diduga digunakan untuk membeli aset seperti tanah dan properti, yang kemudian didaftarkan atas nama terdakwa, keluarganya, atau karyawan yang loyal kepadanya. Contohnya, penyidik menyita 42 bidang tanah di Indramayu (29,6 hektare, dan lima bidang tanah di Depok.. Ini mengindikasikan manipulasi manajemen untuk menyamarkan asal-usul dana ilegal menjadi aset yang tampak sah.
Pencampuran Dana (Mingling): Pola TPPU yang ditemukan melibatkan pencampuran dana yayasan—yang bersumber dari donasi, atau Bantuan Operasional Sekolah (BOS)—dengan dana pribadi Terdakwa. Hal ini dilakukan untuk mengaburkan jejak asal-usul dana, yang merupakan ciri khas manipulasi manajemen dalam kasus pencucian uang.
Konteks TPPU.
Dalam kerangka TPPU, manipulasi manajemen yayasan menjadi "tindak pidana asal" (predicate crime) yang memungkinkan proses pencucian uang. Jaksa mendakwa terdakwa dengan pasal berlapis, termasuk:
Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU, yang mengatur upaya menyamarkan asal-usul dana ilegal, dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Pasal 70 juncto Pasal 5 UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, terkait penyalahgunaan wewenang dalam pengelolaan yayasan, dengan ancaman 5 tahun penjara.
Pasal 372 KUHP tentang penggelapan, dengan ancaman 4 tahun penjara.
Total nilai transaksi yang diduga terkait TPPU mencapai trilyunan, berdasarkan analisis 367 rekening, meskipun kerugian yang diklaim penyidik sekitar Rp1,1 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp200 miliar lebih telah disita dari 14 rekening yang masih berisi Dana atas nama Terdakwa.
Peran Mantan Aktivis dan NII.
Dalam kasus TPPU terkait manipulasi yayasan, narasi NII kurang dominan dibandingkan bukti konkret pengalihan dana yayasan. Namun, jika mantan aktivis bersaksi bahwa dana NII masuk ke yayasan dan kemudian dimanipulasi tergugat, ini bisa memperkuat dakwaan bahwa ada sumber dana ilegal yang disamarkan melalui manajemen yayasan. Hanya saja, hingga sidang terbaru (per Januari 2025), fokus utama jaksa adalah pada penyalahgunaan dana BOS dan pinjaman yayasan, bukan NII secara eksplisit.
Kesimpulan
Kasus TPPU Terdakwa terkait manipulasi manajemen yayasan menunjukkan bagaimana kontrol penuh atas YPI dimanfaatkan untuk mengalihkan dana ke rekening pribadi, membayar utang, dan membeli aset, sembari menyamarkan jejak melalui pola seperti structuring (pemecahan transaksi) dan mingling (pencampuran dana). Ini bukan hanya pelanggaran terhadap UU Yayasan, tetapi juga TPPU yang sistematis, dengan bukti kuat dari penyitaan aset dan analisis rekening.
Maknanya Tidak Terkait dengan NII.