Bersaksi baik untuk tersangka?
Sahabat, ada yang bertanya tentang kemungkinan musuh bebuyutan terdakwa TPPU, berbalik bersaksi membela terdakwa, apak hakim akan mempertimbangkan kesaksiannya?. Mari kita simak dan mengambil kesimpulan awal berdasarkan logika ‘ KALIM FAHIM’.
Jika MUSUH BEBUYUTAN yang dipanggil YUDAS ISKARIOT tiba-tiba berbalik bersaksi baik untuk TERDAKWA dalam konteks kasus TPPU atau kasus lain yang sedang berjalan, reaksi hakim tidak akan serta merta menerima kesaksian tersebut begitu saja.
Dalam sistem peradilan Indonesia, hakim memiliki kewenangan untuk menilai setiap bukti dan kesaksian berdasarkan asas *vrij bewijs* (kebebasan pembuktian) yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Artinya, hakim tidak hanya mendengar apa yang dikatakan saksi, tetapi juga mempertimbangkan kredibilitas, konsistensi, dan relevansi kesaksian dengan bukti lain. Mari kita uraikan skenarionya:
1. Konteks Hukum dan Peran Saksi.
- Posisi saksi dimaksud.
Yudas ( gelaran dari terdakwa ) pernah menjadi pelapor dalam kasus pemalsuan dokumen terhadap terdakwa pada 2011, yang berujung pada vonis bersalah bagi terdakwa (MA, 2015). Jika ia kini bersaksi mendukung terdakwa, statusnya bisa berubah dari saksi pelapor menjadi saksi biasa atau bahkan saksi yang "membela" tergantung pada proses persidangan yang relevan (misalnya kasus TPPU) Namun, riwayat permusuhannya dengan terdakwa akan menjadi faktor penting dalam penilaian hakim.
- Jenis Kesaksian.
Jika yang bersangkutan memberikan kesaksian positif—misalnya menyatakan bahwa terdakwa tidak terlibat TPPU atau bahwa dana Al Zaytun dikelola dengan baik—hakim akan mempertanyakan motif perubahan sikap ini, terutama karena bertentangan dengan pernyataan publiknya sebelumnya (contoh: wawancara 2011 tentang dana NII).
2. Penilaian Hakim.
- Kredibilitas Saksi.
Hakim akan memeriksa kredibilitas saksi. Sebagai mantan pengurus YPI dan pelapor terdakwa, perubahan sikapnya yang drastis bisa dianggap mencurigakan. Apakah ada tekanan, kesepakatan di luar sidang, atau kepentingan pribadi? Dalam praktik hukum Indonesia, saksi yang "berbalik arah" sering kali dianggap kurang dapat dipercaya kecuali ada bukti pendukung yang kuat.
- Konsistensi dengan Bukti Lain.
Dalam kasus TPPU terdakwa, penyidik Bareskrim Polri dan PPATK telah mengumpulkan bukti seperti laporan transaksi keuangan mencurigakan, aliran dana ke rekening pribadi, dan pola *structuring*. Jika kesaksian dari Yudas bertentangan dengan bukti materiil ini (dokumen, saksi lain, atau analisis forensik), hakim kemungkinan besar akan mengesampingkannya atau memberi bobot rendah. Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan saksi harus "sejalan dengan alat bukti lain".
- Motif dan Latar Belakang.
Hakim juga bisa meminta jaksa untuk menggali alasan yudas berbalik bersaksi baik. Jika terdeteksi adanya manipulasi (misalnya sogokan atau ancaman), kesaksiannya bisa dinyatakan tidak sah atau malah digunakan untuk memperkuat tuduhan terhadap terdakwa. (contoh: dugaan menghalangi penegakan hukum).
3. Precedens dan Praktik Hukum.
- Kasus Serupa.
Dalam kasus korupsi atau TPPU di Indonesia, saksi yang tiba-tiba "membela" terdakwa sering mendapat sorotan. Contohnya, dalam kasus korupsi e-KTP, beberapa saksi yang berubah keterangan dianggap tidak kredibel oleh hakim karena tidak didukung bukti lain. Jika Imam bersaksi baik tanpa data konkret—hanya berdasarkan opini atau pernyataan normatif—hakim tidak akan langsung menerimanya.
- Asas Kehati-hatian.
Hakim di Indonesia dilatih untuk bersikap kritis terhadap kesaksian, terutama dalam kasus besar seperti TPPU yang melibatkan publik. Mereka akan mempertimbangkan apakah kesaksian yudas hanya taktik pembelaan terdakwa untuk mengaburkan fakta.
4. Kemungkinan Dampak.
- Diterima Sebagian.
Jika kesaksian yudas didukung bukti baru yang kuat , hakim bisa mempertimbangkannya. Namun, ini jarang terjadi mengingat penyidikan TPPU biasanya sudah mengunci bukti kuat sebelum ke pengadilan.
- Ditolak atau Diabaikan.
Lebih mungkin, hakim akan menilai kesaksian yudas sebagai tidak relevan atau tidak konsisten dengan alat bukti lain, terutama karena riwayat permusuhannya dengan Panji. Jaksa juga bisa menyerang kredibilitasnya dalam pemeriksaan silang (*cross-examination*), misalnya dengan mengutip pernyataan Yudas di media pada 2011 atau 2023 yang menyerang terdakwa.
5. Faktor Eksternal.
- Opini Publik dan Media.
Jika yudas bersaksi baik, jejak digitalnya (wawancara lama, laporan 2011) akan muncul kembali di media sosial seperti X, memicu spekulasi publik tentang motifnya. Ini bisa memengaruhi persepsi hakim secara tidak langsung, meskipun secara hukum hakim harus netral.
- Strategi terdakwa.
Terdakwa dikenal ahli dalam membangun narasi. Jika ia berhasil "merekrut" yudas untuk bersaksi baik, ini bisa jadi bagian dari strategi untuk melemahkan tuduhan. Namun, hakim tidak akan langsung termakan tanpa bukti pendukung.
6. Hak jaksa
Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, jaksa berperan sebagai dominus litis (pengendali perkara). Ini berarti jaksa memiliki kewenangan penuh untuk menentukan strategi penegakan hukum, termasuk memutuskan siapa yang akan dipanggil sebagai saksi dalam persidangan. Hal ini diatur dalam Pasal 137 KUHAP, yang memberikan jaksa hak untuk menyusun dakwaan dan mengajukan alat bukti, termasuk saksi.
- Kebebasan Memilih Saksi
Pasal 184 KUHAP menyebutkan bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti, tetapi tidak ada kewajiban bagi jaksa untuk memanggil semua orang yang terkait dengan kasus. Jaksa berhak memilih saksi yang dianggap relevan, kredibel, dan mendukung dakwaan mereka. Jika jaksa menilai yudas tidak akan lagi mendukung narasi penegakan hukum—misalnya karena berbalik bersaksi baik untuk terdakwa, mereka bisa memilih untuk tidak memanggilnya.
Kesimpulan.
Hakim tidak akan menerima begitu saja kesaksian baik dari yudas untuk terdakwa. Mereka akan menilai kredibilitasnya dengan ketat, membandingkannya dengan bukti lain, dan mempertimbangkan riwayat permusuhan serta pernyataan sebelumnya.
Kemungkinan besar, tanpa dukungan bukti materiil yang solid, kesaksian tersebut akan dianggap lemah atau ditolak, terutama dalam kasus sekelas TPPU yang sudah didukung investigasi PPATK dan Polri. Namun, jika ada konspirasi atau bukti baru yang mengubah arah kasus, itu cerita lain—tapi itu spekulasi yang membutuhkan fakta tambahan.