Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) memiliki potensi hukuman yang lebih berat dibandingkan kasus penistaan agama yang telah diputuskan. Dalam kasus penistaan agama, vonisnya 1 tahun penjara pada Maret 2024 oleh Pengadilan Negeri Indramayu, dan bebas murni pada Juli 2024 setelah menjalani hukuman tersebut. Vonis ini berdasarkan Pasal 156a KUHP, yang mengatur ancaman maksimal 5 tahun penjara, ditambah pasal lain seperti UU ITE dan UU No. 1 Tahun 1946, dengan ancaman tertinggi 10 tahun—namun hukuman yang dijatuhkan jauh lebih ringan. Karena beberapa jeratan tidak masuk dalam tuntutan.
Sementara itu, dalam kasus TPPU, terdakwa dijerat dengan Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang membawa ancaman maksimal 20 tahun penjara dan denda hingga Rp10 miliar. Selain itu, ada pasal terkait penggelapan (Pasal 372 KUHP, ancaman 4 tahun) dan penyalahgunaan yayasan (Pasal 70 jo Pasal 5 UU No. 28 Tahun 2004, ancaman 5 tahun).
Dakwaan TPPU ini didukung bukti (fakta hukum) seperti aliran dana yayasan yang diselewengkan untuk kepentingan pribadi, serta transaksi mencurigakan dari banyak rekening dengan perputaran dana yang cukup besar antara 2007-2023. Sidang perdana TPPU telah digelar pada 23 Januari 2025 di PN Indramayu, dan saat proses hukum masih berlangsung.
Secara teoritis, potensi hukuman TPPU jauh lebih berat karena sifat kejahatan ekonomi yang melibatkan jumlah dana besar dan dampak luas, ditambah pasal berlapis yang diterapkan. Namun, apakah hukuman akhir akan lebih berat dari 1 tahun yang diterima di kasus penistaan agama tergantung pada putusan hakim, yang dipengaruhi oleh pembuktian jaksa, pembelaan terdakwa, dan pertimbangan lainnya seperti fakta persidangan. Hingga kini, belum ada kepastian vonis, jadi prediksi bahwa TPPU "akan mendapatkan hukuman lebih dari penistaan agama" masuk akal dari segi ancaman maksimal, tapi tetap spekulatif sampai putusan final keluar.
Dalam kasus ini terkait penyalahgunaan yayasan, memang ada indikasi kuat bahwa perilaku pengelolaan yayasan yang tidak sesuai aturan menjadi salah satu dasar dakwaan. Berdasarkan fakta yang muncul di persidangan TPPU dan penyelidikan sebelumnya, jaksa menduga terdakwa menyalahgunakan wewenangnya sebagai ketua dewan pembins Yayasan Pesantren Indonesia (YPI) untuk kepentingan pribadi. Salah satu bukti awal yang cukup signifikan adalah aliran dana pinjaman yang diduga digunakan untuk keuntungan pribadi, bukan untuk tujuan yayasan sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Pasal 70 jo Pasal 5 UU No. 28 Tahun 2004 menyatakan bahwa pengurus yayasan dilarang menggunakan aset yayasan untuk kepentingan pribadi, dengan ancaman pidana maksimal 5 tahun penjara. Perilaku "seenaknya" seperti pembelian aset pribadi, pembiayaan gaya hidup, atau pengalihan dana yayasan ke rekening-rekening yang tidak sesuai peruntukan—semua ini tercermin dari laporan transaksi mencurigakan dalam berpuluh rekening. Kejaksaan juga menyebut adanya pola pengelolaan yang tidak transparan dan tidak akuntabel, yang memperkuat dugaan penyalahgunaan wewenang.
Meski bukti awal ini terlihat solid—terutama dari analisis PPATK dan penyitaan aset—kepastian pidana tetap bergantung pada bagaimana hakim menilai kekuatan bukti tersebut di persidangan. Dakwaan penyalahgunaan yayasan ini juga menjadi pintu masuk untuk pasal TPPU yang lebih berat, karena dana yang diselewengkan diduga "dicuci" melalui berbagai transaksi. Jadi, dari sudut pandang awal, perilaku pengelolaan yayasan yang ugal-ugalan memang sudah cukup terlihat sebagai dasar pidana, tapi bobot hukumannya akan ditentukan oleh pembuktian menyeluruh dan pertimbangan hakim nantinya.
Kasus penyalahgunaan yayasan di Indonesia bukan hal baru dan sering kali mencuat karena melibatkan dana besar yang seharusnya digunakan untuk tujuan sosial, kemanusiaan, atau keagamaan. Berikut adalah beberapa contoh kasus penyalahgunaan yayasan lain yang pernah menjadi sorotan :
Kasus Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Pada tahun 2022, ACT, sebuah yayasan filantropi ternama, terseret skandal dugaan penyalahgunaan dana donasi. Berdasarkan laporan investigasi media dan temuan PPATK, ditemukan indikasi bahwa dana donasi masyarakat—yang seharusnya untuk bantuan kemanusiaan—dialihkan untuk kepentingan pribadi pengurus, termasuk gaji fantastis dan pembelian aset mewah. PPATK melaporkan ada transaksi mencurigakan senilai ratusan miliar rupiah, dengan sebagian dana diduga "dicuci" melalui berbagai entitas. Pengurus ACT akhirnya diperiksa, dan beberapa di antaranya ditetapkan sebagai tersangka dengan jeratan Pasal 372 KUHP (penggelapan) dan UU TPPU, yang ancaman hukumannya bisa mencapai 20 tahun penjara. Kasus ini memicu diskusi luas tentang transparansi pengelolaan yayasan di Indonesia.
Kasus Yayasan Keadilan untuk Semua (YKUS).
Pada 2017, yayasan ini terseret dalam kasus dugaan pencucian uang terkait penggalangan dana untuk aksi 411 dan 212, yang dipelopori oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI. Bareskrim Polri menemukan aliran dana dari rekening yayasan ke pihak-pihak yang tidak sesuai dengan tujuan awal pengumpulan dana, yaitu untuk kegiatan demonstrasi menuntut penegakan hukum kasus penistaan agama. Ketua YKUS, Bachtiar Nasir, diperiksa, dan seorang pegawai bank terkait, Islahudin Akbar, ditetapkan sebagai tersangka. Penyidikan mengarah pada dugaan pelanggaran UU Perbankan dan TPPU, meski perkembangan akhir kasus ini kurang mendapat sorotan lanjutan.
Kasus Yayasan Rumah Peduli Kemanusiaan (Agus Salim).
Pada awal 2025, kasus ini ramai diperbincangkan setelah dugaan penyalahgunaan dana donasi untuk Agus Salim, korban penyiraman air keras, mencuat. Yayasan yang menggalang dana sebesar Rp94 juta untuk pengobatan Agus ternyata hanya menyalurkan Rp27,5 juta kepadanya, menurut audit internal yang diungkap bendahara yayasan, RA Pustieka. Sisanya diduga diselewengkan, memicu laporan hukum dan sorotan publik tentang akuntabilitas yayasan kecil yang mengelola donasi publik.
Ketiga kasus ini menunjukkan pola serupa: pengelolaan dana yang tidak transparan, penyelewengan untuk kepentingan pribadi, dan lemahnya pengawasan internal maupun eksternal. Secara hukum, pelaku biasanya dijerat dengan pasal-pasal seperti penggelapan (Pasal 372 KUHP), penyalahgunaan yayasan (UU No. 28 Tahun 2004), dan TPPU (UU No. 8 Tahun 2010), tergantung bukti yang ada. Namun, efektivitas penegakan hukum sering kali bergantung pada kekuatan bukti dan tekanan publik, sementara banyak kasus lain mungkin tidak terungkap karena keterbatasan pengawasan terhadap ribuan yayasan yang terdaftar di Indonesia.
Kasus penyalahgunaan dana oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) adalah salah satu skandal filantropi terbesar di Indonesia yang mencuat pada tahun 2022. Berikut rincian kasus tersebut berdasarkan informasi yang tersedia hingga saat ini:
ACT adalah yayasan yang didirikan pada 21 April 2005 oleh Ahyudin, bergerak di bidang sosial dan kemanusiaan, termasuk tanggap bencana, pemulihan pascabencana, dan program spiritual seperti zakat dan wakaf. Hingga 2022, ACT dikenal sebagai salah satu lembaga filantropi terbesar di Indonesia, mengelola dana donasi ratusan miliar rupiah dari masyarakat dan mitra, termasuk perusahaan multinasional seperti Boeing.
Awal Mula Kasus
Kasus ini terungkap setelah laporan investigasi Majalah Tempo pada 2 Juli 2022 berjudul "Kantong Bocor Dana Umat" dan "Aksi Cepat Tanggap Cuan". Laporan tersebut mengungkap dugaan penyalahgunaan dana donasi oleh petinggi ACT, termasuk penggunaan untuk kepentingan pribadi, gaji fantastis, dan fasilitas mewah. Hal ini memicu reaksi keras dari publik dan otoritas.
Rincian Dugaan Penyalahgunaan
Pemotongan Dana Donasi Berlebihan
ACT diduga memotong dana donasi hingga 20-30% untuk operasional, jauh melebihi batas maksimal 10% yang diizinkan oleh PP No. 29 Tahun 1980 tentang Pengumpulan Sumbangan. Presiden ACT, Ibnu Khajar, mengakui rata-rata pemotongan sebesar 13,7% antara 2017-2021, yang tetap melanggar aturan.
Contoh kasus: Donasi Rp412 juta untuk Suharno (korban kecelakaan truk 2021) hanya disalurkan Rp3 juta, sisanya tidak jelas penggunaannya. Dalam kasus lain, donasi Rp3,018 miliar untuk Surau Sydney dipotong 23%, hanya Rp2,311 miliar yang sampai.
Gaji dan Fasilitas Mewah Petinggi Petinggi ACT menerima gaji besar: Ahyudin (mantan Presiden) Rp450 juta/bulan, Ibnu Khajar (Presiden saat itu) Rp250 juta/bulan, serta bonus hingga 18 kali setahun. Wakil Presiden dan direktur eksekutif mendapat Rp50-150 juta/bulan.
Dana donasi digunakan untuk membeli mobil mewah dan properti pribadi, termasuk rumah senilai miliaran rupiah untuk Ahyudin.
Penggelapan Dana Boeing
ACT mengelola dana bantuan sosial dari Boeing Community Investment Fund (BCIF) sebesar Rp138,5 miliar untuk ahli waris korban kecelakaan Lion Air JT-610 (2018). Namun, hanya Rp20,56 miliar yang digunakan sesuai peruntukan.
Sisanya, Rp107,3 miliar, diselewengkan untuk berbagai kepentingan, seperti:
Rp10 miliar ke Koperasi Syariah 212.
Rp8,7 miliar untuk pembangunan pesantren di Tasikmalaya.
Rp7,8 miliar sebagai dana talangan PT MBGS.
Rp3 miliar untuk CV CUN.
Dugaan Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme .
PPATK menemukan transaksi mencurigakan senilai Rp1 triliun dari 2014-2022, melibatkan lebih dari 2.000 transaksi masuk (Rp64 miliar) dan 450 transaksi keluar (Rp52 miliar) ke 10 negara, termasuk Turki, Jepang, dan Bosnia.
Seorang pengurus ACT diduga mengirim Rp1,7 miliar ke negara berisiko tinggi terkait terorisme (17 transaksi), dan ada indikasi keterkaitan dengan Al-Qaeda berdasarkan penangkapan di Turki. Salah satu pengurus juga mengirim Rp500 juta ke negara seperti Kirgistan dan Albania.
Struktur Bisnis Terselubung .
ACT diduga mengelola dana donasi secara business-to-business melalui entitas perusahaan terafiliasi (10 perusahaan cangkang), termasuk Global Islamic Philanthropy yang dibentuk Ahyudin pada 2021. Keuntungan dari bisnis ini tidak kembali ke tujuan sosial yayasan, melainkan ke kantong pribadi pengurus.
Proses Hukum,
Penetapan Tersangka: Pada 25 Juli 2022, Bareskrim Polri menetapkan 4 tersangka: Ahyudin (mantan Presiden), Ibnu Khajar (Presiden), Hariyana Hermain (pembina), dan Novariadi Imam Akbari (mantan ketua pembina).
Dakwaan: Mereka dijerat Pasal 372 dan 374 KUHP (penggelapan), UU ITE, UU Yayasan, serta UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU, dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara.
Tuntutan dan Vonis:
Jaksa menuntut Ahyudin, Ibnu Khajar, dan Hariyana masing-masing 4 tahun penjara pada Desember 2022.
Pada Januari 2023, PN Jakarta Selatan memvonis Ahyudin 3,5 tahun penjara, lebih rendah dari tuntutan, karena terbukti menggelapkan dana Boeing.
Putusan terhadap tersangka lain bervariasi, namun detailnya kurang terdokumentasi luas hingga Maret 2025.
Dampak dan Tindakan Pemerintah
Pencabutan Izin: Kementerian Sosial mencabut izin pengumpulan uang dan barang (PUB) ACT pada 5 Juli 2022 melalui Keputusan Mensos No. 133/HUK/2022, karena pelanggaran aturan.
Pembekuan Rekening: PPATK membekukan 60 rekening ACT pada 6 Juli 2022.
Dampak Sosial: Kasus ini menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga filantropi. Survei Median (Februari 2023) menyebut 44,7% masyarakat tidak lagi percaya pada lembaga sejenis ACT.
Respons ACT
Ibnu Khajar menyatakan masalah terjadi sebelum Januari 2022 dan telah diperbaiki melalui restrukturisasi. ACT juga meminta maaf dan mengklaim kooperatif dengan penyelidikan.
Status Terkini (Maret 2025)
Hingga 27 Maret 2025, proses hukum terhadap tersangka telah selesai untuk beberapa individu (seperti Ahyudin), tetapi penyelidikan lanjutan terkait TPPU dan keterkaitan terorisme masih mungkin berlangsung oleh Densus 88 dan BNPT. Kasus ini menjadi pelajaran besar bagi pengelolaan yayasan di Indonesia, mendorong usulan revisi regulasi filantropi.
Kasus ACT menunjukkan betapa pentingnya transparansi dan pengawasan ketat dalam pengelolaan dana publik, serta dampak buruk dari penyimpangan terhadap kepercayaan masyarakat.
Berikut adalah rincian hukuman yang telah dijatuhkan kepada para tersangka dalam kasus penyalahgunaan dana Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) berdasarkan informasi yang tersedia hingga Maret 2025:
Tersangka dan Hukuman
Ahyudin (Mantan Presiden ACT dan Pendiri)
Tuntutan Jaksa: 4 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan.
Vonis Hakim: 3 tahun 6 bulan penjara, diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 17 Januari 2023. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa.
Dasar Hukuman: Terbukti melakukan penggelapan dana donasi Boeing sebesar Rp117 miliar untuk ahli waris korban kecelakaan Lion Air JT-610, melanggar Pasal 374 KUHP (penggelapan dalam jabatan) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP (tindakan bersama-sama).
Pertimbangan Hakim: Memberatkan karena perbuatan Ahyudin meresahkan masyarakat dan merugikan ahli waris korban, namun diringankan karena ia mengakui perbuatan dan kooperatif selama persidangan.
Ibnu Khajar (Presiden ACT 2019-2022)
Tuntutan Jaksa: 4 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan.
Vonis Hakim: 3 tahun penjara, diputuskan pada 24 Januari 2023 oleh PN Jakarta Selatan.
Dasar Hukuman: Bersama Ahyudin, terbukti menggelapkan dana Boeing untuk kepentingan pribadi dan operasional yayasan di luar peruntukan, melanggar pasal yang sama seperti Ahyudin.
Pertimbangan Hakim: Vonis lebih ringan karena ia tidak memiliki riwayat kriminal sebelumnya dan berjanji memperbaiki tata kelola yayasan, meski perbuatannya tetap dianggap merugikan.
Hariyana Hermain (Pembina dan Vice President Operational)
Tuntutan Jaksa: 4 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan.
Vonis Hakim: 3 tahun penjara, diputuskan pada sidang terpisah di PN Jakarta Selatan pada Januari 2023 (tanggal pasti bervariasi dalam laporan, namun dalam rentang yang sama).
Dasar Hukuman: Berperan dalam pengelolaan keuangan dan turut serta dalam penggelapan dana Boeing, melanggar pasal yang sama.
Pertimbangan Hakim: Hukuman diringankan karena perannya dianggap lebih kecil dibandingkan Ahyudin dan Ibnu Khajar, serta ia bersikap kooperatif.
Novariadi Imam Akbari (Mantan Ketua Dewan Pembina)
Tuntutan Jaksa: 4 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan.
Vonis Hakim: Belum ada kepastian vonis final yang tercatat luas hingga Maret 2025. Sidang vonis sempat dijadwalkan pada akhir 2022 atau awal 2023, tetapi beberapa sumber menyebut prosesnya terpisah dan kurang mendapat sorotan media dibandingkan tiga tersangka lainnya. Hukuman kemungkinan sejalan dengan rentang 3-4 tahun berdasarkan pola putusan hakim pada kasus ini.
Dasar Hukuman: Terlibat dalam menyusun kebijakan pemotongan dana donasi dan pengelolaan program yang menyimpang.
Rincian Hukuman Tambahan
Denda: Ketiga tersangka yang telah divonis (Ahyudin, Ibnu Khajar, Hariyana) juga dikenakan denda Rp200 juta dengan ketentuan subsider 3 bulan kurungan jika tidak membayar. Namun, tidak ada laporan jelas apakah denda ini telah dibayar atau diganti dengan kurungan tambahan hingga saat ini.
Pencabutan Izin Yayasan: Selain hukuman pidana individu, Kementerian Sosial mencabut izin pengumpulan uang dan barang (PUB) ACT pada 5 Juli 2022 melalui Keputusan Mensos No. 133/HUK/2022, sehingga yayasan tidak lagi bisa beroperasi secara legal untuk menggalang dana.
Konteks Hukuman
Pasal yang Diterapkan: Para tersangka dijerat dengan Pasal 372 KUHP (penggelapan, maksimal 4 tahun), Pasal 374 KUHP (penggelapan dalam jabatan, maksimal 5 tahun), dan UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU (maksimal 20 tahun). Namun, vonis yang dijatuhkan lebih mengacu pada penggelapan biasa dan tindakan bersama-sama, bukan TPPU, karena fokus utama adalah dana Boeing, bukan keseluruhan transaksi Rp1 triliun yang dilaporkan PPATK.
Alasan Vonis Lebih Ringan: Hakim mempertimbangkan faktor kemanusiaan, pengakuan bersalah, dan janji perbaikan dari para tersangka, meskipun jaksa sempat mengajukan banding atas vonis yang dianggap terlalu ringan. Tidak ada informasi lanjut apakah banding diterima atau mengubah putusan hingga Maret 2025.
Dugaan TPPU dan Terorisme: Meskipun PPATK melaporkan transaksi mencurigakan Rp1 triliun dan dugaan aliran dana ke aktivitas terorisme, aspek ini belum menghasilkan vonis tambahan. Penyelidikan oleh Densus 88 dan BNPT masih berjalan terpisah dan belum ada putusan final terkait hal ini.
Status Terkini
Hingga 27 Maret 2025, Ahyudin, Ibnu Khajar, dan Hariyana kemungkinan masih menjalani masa tahanan, mengingat vonis mereka dijatuhkan pada awal 2023 dan masa hukuman belum selesai. Untuk Novariadi, kurangnya data terbaru membuat status hukumannya tidak sepenuhnya jelas. Kasus ini tetap menjadi sorotan sebagai contoh penegakan hukum terhadap penyalahgunaan dana yayasan di Indonesia, meski banyak pihak menilai hukuman yang dijatuhkan terlalu ringan dibandingkan skala kerugian yang ditimbulkan.
kasus yayasan lain
Berikut adalah beberapa kasus penyalahgunaan yayasan lain di Indonesia yang pernah menjadi sorotan, selain kasus ACT yang sudah dibahas sebelumnya:
Kasus Yayasan Supersemar.
Yayasan Supersemar didirikan pada 1974 oleh Soeharto dengan tujuan memberikan beasiswa pendidikan kepada pelajar berprestasi. Namun, setelah rezim Soeharto runtuh pada 1998, yayasan ini terseret dalam skandal korupsi. Kejaksaan Agung menemukan bahwa dana yayasan, yang berasal dari sumbangan wajib perusahaan dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), disalahgunakan untuk kepentingan pribadi Soeharto dan keluarganya. Pada 2008, Mahkamah Agung memerintahkan Yayasan Supersemar mengembalikan Rp243 miliar ke negara karena terbukti menyelewengkan dana untuk proyek-proyek yang tidak sesuai tujuan yayasan, seperti pembiayaan bisnis keluarga. Kasus ini menjadi simbol korupsi era Orde Baru, meski Soeharto sendiri meninggal sebelum proses hukum rampung.
Kasus Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan Bank Indonesia (YDKK BI).
Pada 2010, Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan Bank Indonesia terseret dalam kasus dugaan penggelapan dana pensiun karyawan BI. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap bahwa dana sebesar Rp144 miliar dialihkan untuk investasi yang tidak jelas dan merugikan karyawan. Pengurus yayasan, termasuk mantan pejabat BI, diduga memanfaatkan dana tersebut untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Pada 2013, beberapa tersangka, seperti mantan Direktur YDKK BI, Djoko Mardianto, divonis 4 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta atas tuduhan penggelapan dan pencucian uang. Kasus ini mencerminkan lemahnya pengawasan internal dalam yayasan yang mengelola dana besar.
Kasus Yayasan Batutah Haji (YBH)
Yayasan Batutah Haji, yang mengelola dana jemaah haji di Makassar, Sulawesi Selatan, terlibat skandal pada 2018. Pengurus yayasan diduga menyelewengkan dana jemaah sebesar Rp18 miliar yang seharusnya digunakan untuk keberangkatan haji. Uang tersebut malah dipakai untuk investasi pribadi dan pembelian aset oleh Ketua Yayasan, Muhammad Natsir. Akibatnya, ratusan jemaah gagal berangkat haji, memicu demonstrasi besar. Pada 2020, Natsir divonis 8 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Makassar atas dakwaan penggelapan (Pasal 372 KUHP) dan TPPU (UU No. 8 Tahun 2010). Kasus ini menyoroti maraknya penyalahgunaan dana keagamaan oleh yayasan swasta.
Kasus Yayasan Kasih Ibu
Pada 2023, Yayasan Kasih Ibu di Jawa Timur dilaporkan ke polisi karena dugaan penggelapan dana donasi untuk anak yatim dan dhuafa senilai Rp5 miliar. Yayasan ini menggalang dana melalui media sosial dengan janji bantuan pendidikan dan kesehatan, namun sebagian besar dana diduga digunakan untuk kepentingan pribadi pengurus, termasuk pembelian properti. Polisi masih menyelidiki kasus ini hingga awal 2025, dengan beberapa saksi menyebut pengurus yayasan sengaja memalsukan laporan keuangan untuk menutupi penyelewengan. Kasus ini menambah daftar panjang yayasan kecil yang memanfaatkan empati publik untuk keuntungan pribadi.
Kasus-kasus ini menunjukkan pola penyalahgunaan yayasan yang umum di Indonesia: mulai dari penggelapan dana donasi, penggunaan untuk kepentingan pribadi, hingga lemahnya pengawasan dan akuntabilitas. Hukuman yang dijatuhkan bervariasi, mulai dari penjara beberapa tahun hingga perintah pengembalian dana, tetapi dampaknya sering kali tidak sepenuhnya memulihkan kerugian korban, baik itu donatur maupun penerima manfaat yang dirugikan. Sistem pengawasan yayasan di Indonesia, meski diatur dalam UU No. 28 Tahun 2004, masih memiliki celah besar yang memungkinkan penyelewengan terus terjadi.