Proses hukum dan kekuatan bukti yang ada pada kasus TPPU Syaykh Alzaytun

Catatan MYR Agung Sidayu- Pembina Yayasan Pesantren Indonesia.

Dalam kasus TPPU Syaykh , apakah beliau sudah "terbukti bersalah" dengan atau tanpa kesaksian dari pihak Yayasan bergantung pada tahap proses hukum dan kekuatan bukti yang ada. Hingga 25 Maret 2025, sidang masih berlangsung di Pengadilan Negeri Indramayu, sehingga secara hukum, terdakwa belum dinyatakan bersalah secara final (in kracht van gewijsde) kecuali putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap. Namun, kita bisa menganalisis apakah bukti yang ada cukup untuk membuktikan TPPU, terlepas dari kesaksian Yayasan.

Bukti yang Sudah Ada Tanpa Kesaksian Yayasan.

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan penyidik hingga saat ini:

1. Analisis PPATK ; Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan aliran dana melalui 147 rekening terkait Syaykh AS Panji Gumilang dan YPI. Pola transaksi ini dianggap tidak wajar untuk yayasan pendidikan, dengan indikasi *layering* (pengalihan dana untuk menyamarkan asal-usul) dan *structuring* (pemecahan transaksi untuk menghindari deteksi).

2. Pinjaman Bank Rp73 Miliar ; Dana pinjaman dari bank pada 2019 diduga digunakan untuk membayar utang pribadi Syaykh, bukan kepentingan Yayasan. Ini diperkuat dengan penyitaan aset senilai ratusan miliar dari 14 rekening.

Catatan ;

- Pendapat saya poin nomor 2 ini perlu pendalaman penasehat hukum , yang harus mampu membuktikan bahwa fakta hukum pinjaman JTrust ini debiturnya adalah Syaykh, dan cicilan dibayar oleh yayasan, akan tetapi sesungguhnya pinjaman ini adalah novasi.

3. Dokumen dan Aset ; Penyidik menemukan aset-aset seperti tanah dan bangunan yang dibeli atas nama terdakwa atau pihak lain, bukan Yayasan, meskipun sumber dananya dari YPI. Ini menunjukkan pengalihan kekayaan yang jadi salah satu unsur TPPU.

4. Pengakuan Terdakwa ; Syaykh menyatakan bertanggung jawab atas semua transaksi Yayasan. Meski ia membantah tuduhan TPPU, pengakuan ini bisa digunakan jaksa untuk membuktikan bahwa ia memiliki kendali penuh atas aliran dana yang menyimpang.

5. Saksi Lain ; Hingga September 2023, Bareskrim telah memeriksa 38 saksi, termasuk pihak Yayasan, madrasah, dan pihak eksternal seperti bank. Kesaksian mereka—meski bukan dari "korban Yayasan" secara spesifik—bisa mendukung konstruksi TPPU.

Dalam hukum pidana Indonesia (Pasal 184 KUHAP), minimal dua alat bukti yang sah sudah cukup untuk pembuktian. Bukti dokumen (laporan PPATK, rekam bank) dan pengakuan terdakwa sudah memenuhi syarat ini, apalagi dengan kesaksian tambahan dari pengurus Yayasan.

Peran Kesaksian Yayasan.

Kesaksian dari pengurus atau bendahara Yayasan pada saatnya, akan memperkuat dakwaan ;

- Memperkuat Niat (Mens Rea) ; Kesaksian bisa menunjukkan bahwa terdapat kebijakan yang menyalahi undang Undang yayasan.

- Detail Skema ; Mereka bisa mengungkap pola transaksi spesifik yang sulit dibuktikan hanya dari dokumen, seperti perintah lisan atau manipulasi laporan keuangan.

- Bobot Moral ; Kesaksian dari "korban" Yayasan bisa memengaruhi persepsi hakim tentang dampak perbuatan terdakwa yang didakwa melakukan tindak pidana TPPU.

Kesaksian pihak Yayasan sangat penting walau jaksa tetap bisa membuktikan TPPU jika bukti lain sudah konsisten dan cukup meyakinkan. TPPU (UU No. 8 Tahun 2010) tidak mensyaratkan kesaksian langsung dari pihak terkait, asalkan ada bukti bahwa dana berasal dari tindak pidana asal (misalnya penggelapan) dan digunakan untuk menyamarkan asal-usulnya.

Status Hukum Saat Ini.

Hingga Maret 2025, terdakwa belum divonis bersalah karena proses sidang masih berjalan, Kamis besok pembuktian.

Dalam sistem hukum Indonesia:

- Terdakwa dianggap tidak bersalah hingga ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (presumption of innocence).

- Jaksa harus membuktikan unsur-unsur TPPU (Pasal 3 atau 4 UU TPPU), yaitu: (1) adanya tindak pidana asal, (2) pengalihan atau penggunaan hasil kejahatan, dan (3) niat menyamarkan asal-usul dana.

- Jika hakim menerima bukti PPATK, dokumen transaksi, dan pengakuan terdakwa sebagai cukup, ia bisa dinyatakan bersalah apalagi dengan kesaksian Yayasan.

- Memang dengan bukti yang ada saat ini—laporan PPATK, dokumen aset, dan pengakuan terdakwa —TPPU Syaykh AS Panji Gumilang *bisa* terbukti di pengadilan, apalagi dengan kesaksian Yayasan.

- Kesaksian Yayasan akan memperkuat, walau bukan menentukan, karena alat bukti lain sudah signifikan. Namun, "terbukti bersalah" secara hukum baru sah setelah putusan pengadilan, dan itu tergantung pada bagaimana jaksa menyusun dakwaan serta bagaimana tim pembela terdakwa melawan dalam sidang.

Pengakuan.

Terkait dengan Pengakuan terdakwa dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) bahwa ia bertanggung jawab atas semua transaksi Yayasan Pesantren Indonesia (YPI) memang tidak serta-merta mencerminkan sikap pertanggungjawaban kepemimpinan dalam arti positif atau etis.

Dalam konteks hukum dan dinamika kasusnya, pengakuan tersebut bisa memiliki makna lain yang lebih strategis atau pragmatis;

1. Pengakuan Bukan Pengakuan Kesalahan.

Ketika Syaykh AS Panji Gumilang mengatakan ia bertanggung jawab atas semua transaksi Yayasan pada pemeriksaan Agustus 2023, ini tidak berarti ia mengakui adanya perbuatan melawan hukum atau niat jahat (mens rea) dalam TPPU. Dalam wawancara publik dan pembelaannya, ia kerap menyatakan bahwa pengelolaan dana dilakukan untuk kepentingan pesantren, bukan kepentingan pribadi. Jadi, "bertanggung jawab" di sini lebih kepada pernyataan faktual bahwa ia sebagai pimpinan memiliki kuasa penuh atas keputusan Yayasan, bukan pengakuan bersalah atau sikap kepemimpinan yang bertanggung jawab secara moral.

2. Strategi Hukum atau Pembelaan Diri.

Pengakuan semacam ini bisa jadi bagian dari strategi hukum untuk mengendalikan narasi. Dengan menyatakan dirinya bertanggung jawab, terdakwa mungkin berupaya:

- Menghindari Penyebaran Tuduhan ; Ia bisa mencegah penyidik menggali keterlibatan pihak lain (misalnya keluarga atau ketua pengurus Yayasan saat itu ), yang mungkin berakibat meluasnya ketersangkaan.

- Memperkuat Argumen Kepemimpinan ; Ia bisa mengklaim bahwa semua transaksi adalah keputusan sah dalam kapasitasnya sebagai Ketua Pembina YPI, sehingga sulit dibuktikan adanya niat jahat atau penyimpangan.

- Meredam Kesaksian Saksi Lain; Jika pengurus lain (seperti bendahara) bersaksi menentangnya, ia bisa berargumen bahwa mereka hanya menjalankan perintahnya, sehingga fokus tetap padanya sebagai pengambil keputusan tunggal.

Ini bukan pertanda tanggung jawab kepemimpinan yang tulus, melainkan langkah taktis untuk membentuk persepsi atau mempersulit pembuktian unsur TPPU, dan ini adalah hak daripada terdakwa.

3. Tanggung Jawab Kepemimpinan vs. Tanggung Jawab Hukum.

Dalam konteks kepemimpinan yang ideal, bertanggung jawab berarti menerima konsekuensi atas kesalahan dan melindungi bawahan atau lembaga dari dampak buruk. Namun, dalam kasus TPPU ini ;

- tidak menunjukkan sikap melindungi Yayasan dari skandal hukum ini. Sebaliknya, Yayasan justru dirugikan dan asetnya disita.

- Pengakuannya tidak disertai langkah konkret untuk memperbaiki kerugian (restitusi) atau menjelaskan aliran dana secara transparan kepada publik atau penyidik.

- Fakta bahwa ia tetap membantah tuduhan TPPU—meski mengakui tanggung jawab atas transaksi—menunjukkan bahwa pengakuan itu lebih untuk kepentingan diri sendiri, bukan pengorbanan demi institusi.

4. Fakta Kasus dan Bukti Kontradiktif.

Pengakuan terdakwa bahwa ia bertanggung jawab atas transaksi Yayasan justru bertolak belakang dengan temuan penyidik:

- Dana pinjaman bank Rp73 miliar pada 2019 diduga digunakan untuk membayar utang pribadi, bukan kebutuhan pesantren.[sekali lagi ini perlu pendalaman]

- Aset-aset seperti tanah dan bangunan dibeli atas nama pribadi atau pihak lain, bukan Yayasan, yang menunjukkan pengalihan kekayaan (layering)—salah satu ciri TPPU.

- PPATK melaporkan aliran dana triliunan dalam rekening, dengan pola transaksi yang tidak wajar untuk sebuah yayasan pendidikan.

Jika pengakuan itu benar-benar pertanda tanggung jawab kepemimpinan, Syaykh seharusnya bisa menjelaskan aliran dana tersebut dengan bukti yang mendukung bahwa penggunaannya sesuai tujuan Yayasan. Namun, hingga sidang perdana Januari 2025, tim pembelanya lebih fokus membantah tuduhan ketimbang mengklarifikasi fakta. sehingga eksepsinya ditolak.

Kesimpulan.

Pengakuan Syaykh AS Panji Gumilang bukan cerminan pertanggungjawaban kepemimpinan dalam makna normatif—yaitu menerima kesalahan demi kebaikan lembaga atau pengikutnya. Sebaliknya, itu lebih terlihat sebagai manuver hukum untuk mempertahankan posisinya di tengah bukti yang memberatkan, seperti dokumen transaksi dan laporan PPATK. Dalam kasus TPPU, niat dan pola perbuatan jauh lebih menentukan ketimbang sekadar pernyataan verbal, dan pengakuan ini tidak mengubah fakta bahwa penyidik tetap harus membuktikan unsur-unsur TPPU di pengadilan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *