Pernahkah Anda mendapat pernyataan dari seseorang atau sekelompok orang yang mengatakan mereka mempercayai Anda? Anda mungkin akan menjawab Ya. Dalam catatan kecil ini saya ingin membawa beberapa dimensi di sekitar KEPERCAYAAN., khususnya untuk seorang dan atau para pemimpin masyarakat.
Untuk mulai membahas tentang kepercayaan, saya ingin mengangkat topik yang menjadi perhatian saya akhir akhir ini: Kebajikan, tindakan dan perilaku yang melibatkan pemikiran jangka panjang seorang dan atau para pimpinan , mengenai kinerja dan kesejahteraan orang lain, termasuk kesinambungan kepercayaan masyarakat terhadap organisasi kita. Dan saat melakukan beberapa penelitian dari berbagai sumber bacaan, saya menemukan representasi sederhana yang menjelaskan dimensi Kepercayaan: Yakni Integritas, Kemampuan, dan Kebajikan.
Selain itu, pemimpin yang baik menyampaikan ekspektasi peran mereka kepada pengikutnya dan cenderung menggunakan pola kepemimpinan yang ramah dan penuh kasih sayang untuk menginspirasi rasa tanggung jawab dan loyalitas pengikut terhadap peran yang diharapkan. Selain itu, pemimpin yang baik dapat menanamkan kepercayaan pada pengikutnya dan bukan sebaliknya, yaitu memaksakan kepercayaan dengan berbagai manipulasi obsesive.
Banyak pemimpin berpikir bahwa kepemimpinan memerlukan otoritas dan kekuasaan bahkan keditaktoran, dan hal ini merupakan hal yang normal bagi pemimpin yang lemah bukan untuk pemimpin yang kokoh. Alasannya terletak pada mekanisme pertahanan diri bawah sadar yang menganggap tanpa sikap otoriter akan mengancam posisi dan status kepemimpinannya. Di sisi lain, pemimpin yang baik bersikap santun dan tidak konfrontative kepada semua orang, dengan mempelajari bagaimana satu tindakan berdampak pada orang lain dan tentu pada Organisasi yang didirikan bersama yang dipimpinnya.
Saya menemukan 8 ciri kepemimpinan yang baik yang saya baca dari berbagai sumber ilmiah, dan patut dibaca oleh pemimpin dan atau para pemimpin, untuk mengukur kualitas kepemimpinannya, sebagai instropeksi dan untuk kebaikan kepemimpinan dan Organisasi yang di pimpinnya.
- Berkomitmen untuk menjadikan masyarakat, khusunya komunitas yang dipimpinnya menjadi lebih baik, di dalam dan di luar organisasi, namun tidak dengan mengorbankan siapa pun. Dan memanipulasi kepercayaan.
- Dapat Didekati dan Dapat Diakses. Sambut kabar baik dan tidak gentar dengan kabar buruk. Keduanya harus dihadapi dengan bijaksana tanpa menyalahkan orang lain.
- Berkomunikasi dengan cara komunikasi yang baik, sebagaimana seorang pemimpin dan tidak arogan serta menyebar kebencian ditengah masyarakat luas dan komunitas khusus yang dipimpinnya
- Menghargai partisipasi dengan tulus dari teamwork atau orang-orang yang dipimpinnya langsung dalam Organisasi.
- Memahami bahwa teamworknya bukanlah mesin dan atau barang yang bisa di otak atik semau dan kapan maunya.
- Selalu mencari orang-orang yang dapat melakukan sesuatu dengan benar, menghargai pencapaian, menghargai kesuksesan, dan mengakui kemajuan. Dan tidak selalu mengadu domba untuk mengamankan kepentingan pribadinya.
- Mereka adalah pemimpin yang melayani. Ada untuk melayani, bukan untuk dilayani. Karena itu adalah konsekuensi dari pernyataan mewakafkan diri.
- Berusaha keras untuk kemajuan organisasi dan bukan hanya berusaha untuk melakukan personal development, dengan tujuan kemakmuran diri dan keluarga .
Kebajikan, sebagai yang saya baca dari berbgai sumber, selalu didasarkan pada hubungan antar manusia dan setidaknya akan dirasakan oleh anggota kelompok / organisasi. Ketika seorang pemimpin hanya berbaik hati pada diri sendiri, maka partisipasi komunitas yang mempercayainya sebagai pemimpin terabaikan. Kemudian tujuan berorganisasi secara otomatis terabaikan. Sementara semua orang yang bergabung dalam Organisasi berharap adanya manfaat bagi anggotanya dan para pemimpin yang baik harus menyadari tanggung jawab yang di amanahkan ke pundaknya.
Pemimpin yang Baik menggunakan Integritas dan Kemampuannya untuk menggerakkan orang untuk mencapai kebaikan bersama. Dan seperti halnya hubungan apa pun, integritas, nilai-nilai moral, dan etika seputar orang yang mempercayainya dan yang dipercaya olehnya, adalah hal yang menentukan keharmonisan dalam organisasi. Terkadang ada perilaku eksplisit sikap eksplisit bersifat sadar dan disengaja) atau persepsi implisit (bersifat otomatis dan tidak disadari), bagaimana kita berasumsi atau menyetujui tingkat ekspektasi tertentu. Namun ada garis tipis tersembunyi yang jika tidak dikomunikasikan dengan baik akan menimbulkan ketidakpercayaan.
Saya juga sering melihat Kepercayaan dan Integritas dalam dua arah. Kita bisa dipercaya tetapi tidak memiliki integritas atau perilaku etis ( Akhlakul karimah). Misalkan kita berjanji bahwa suatu kegiatan akan dilakukan tepat waktu dan sesuai kesepakatan. Janji kita dipegang dengan bangga oleh orang - orang yang mempercayai kita sebagai pemimpin. Namun, untuk melakukannya kita harus melanggar beberapa aturan atau bertindak tidak etis yang dapat merusak reputasi sebagai pemimpin, kemudian kita melakukannya, mengambil risiko. Apakah itu sesuai dengan kesepakatan bersama? Pernahkah kita menjadi orang yang tidak etis saat kita sangat dipercaya? Beberapa orang akan melabelinya sebagai karakter yang buruk, yang membawa pada permasalahan hukum, karena sering prilaku seperti ini di iringi dengan prilaku yang menyalahi Undang-Undang.
Integritas adalah milik kita dan satu-satunya dimensi yang mewakili nilai dan keyakinan dalam suatu hubungan dan tidak bergantung pada siapa pun, Kepercayaan seperti yang saya sebutkan adalah hubungan yang membutuhkan kebersamaan – yang sering dsebut oleh Syaykh Alzaytun sebagai NAKHNIAH - Orang yang berintegritas mempunyai reputasi sebagai orang yang dapat dipercaya, dan hal ini diperoleh seiring berjalannya waktu. Semua kita percaya bahwa integritas dan kepercayaan memberi kita kedamaian, rasa hormat, dan peluang tanpa batas.
Namun bagaimana jika kita tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan sesuatu yang kita katakan untuk melakukan ini dan itu tetapi kita tidak siap untuk itu? Apakah kita jujur kepada mereka yang memberi kepercayaan? Akankah orang-orang tetap mempercayai kita. Atau kita membuat pengalihan perhatian dengan menyalahkan orang lain, agar integritas kita sebagai seorang pimpinan selalu terjaga di hadapan anggota komunitas?. Pertanyaan yang hanya mampou dijawab oleh pemimpin itu sendiri dan dirasakan oleh komunitasnya.
Itulah sebabnya kemampuan untuk melakukan apa yang di janjikan, memengaruhi orang untuk memercayai kita atau tidak. Kemampuan harus didsarkan pada pengetahuan, keterampilan, atau kompetensi yang memungkinkan seseorang memiliki pengaruh dalam bidang tertentu. Artinya, tanpa pengetahuan, seorang pemimpin dapat bergerak maju dan mencoba, namun dengan sadar pemimpin tersebut mengambil tindakan yang merusak reputasinya, karenanya seorang poemimpin harus belajar dari praktek praktek kepemimpinan yang dilakukannya, dan membandingkan dengan idealisme kepemimpinan yang di baca dari berbagai sumber yang terus berobah seiring dengan berjalannya waktu.
Saya tidak mengatakan bahwa seorang pemimpin harus lumpuh jika tidak memiliki keterampilan atau pengetahuan untuk melakukannya, karena kita selalu dapat mempelajari sesuatu yang baru. Maksud saya adalah penting untuk menggunakan Integritas dan bersikap transparan tentang apa yang di ketahui atau dapat capai. Jangan selalu memanipulasi . Tidak ada orang yang suka menghadapi kekecewaan pada waktunya, dan jika semua ini terjadi, komunitas yang sama sekali tidak pernah mendapatkan bimbingan yang sustain, dengan terpaksa menerima keadaan secara apatis, tetapi hukum dan perundangan tidak akan selalu diam, pada saatnya kita akan menghadapinya, dan seperti yang saya sebuat diatas, prilaku individual seorang pemimpin akan mempengarahui kenyamanan komunitas dan keselamatan Organisasi.
Saya mendukung pembelajaran jangka panjang dan kita dilahirkan tanpa mengetahui apa pun. Proses pembelajaran adalah bagian dari pendidikan dan evolusi kita. Semakin banyak kita berinvestasi pada diri sendiri, semakin tumbuh dan meningkatkan kepercayaan diri. Percaya pada diri sendiri adalah bahan bakar untuk melawan sindrom penyalahgunaan kekeuasaan (kepercayaan), dimana kita percaya bahwa kita tidak bisa mencapai sesuatu dan hanya dengan konsepsi NAKHNIAH kita bisa, tapi takut akan penilaian orang lain dan anggota komunitas. Tapi itu adalah pembicaraan Kebenaran lainnya tentang Kerentanan dan Sindrom Penyalahguna kekuasaan/Kepercayaan, yang akan kita bahas kemudian.
Percaya atau tidak Percaya? Itulah pertanyaannya.
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita para pemimpin harus menyeimbangkan Kemampuan dan Integritas kita sendiri, untuk menemukan cara menerapkannya. Lakukan latihan sederhana. Setiap kali kita berinteraksi dengan seseorang, cobalah untuk menyeimbangkan seberapa jujurnya kita terhadap diri sendiri, tetap berpegang pada nilai-nilai pribadi dan reputasi kepercayaan. Buatlah bagan sederhana dengan dua kolom: Dapat Dipercaya x Tidak Dapat Dipercaya. Luangkan waktu sejenak dan jawablah beberapa pertanyaan berikut:
- Seberapa besar kepedulianku terhadap hubungan ini?
- Apakah hubungan ini merupakan tiga dimensi Kepercayaan?
- Seberapa kuat masing-masing dimensi Integritas, Kemampuan, atau Kebajikan?
- Apakah aku jujur pada diriku sendiri?
- Bagaimana saya memastikan bahwa hubungan yang dapat dipercaya ini akan terpelihara?
Pertanyaan sederhana akan memberi jawaban sederhana. Ciptakan keseimbangan dalam hidup kita dan lebih dekat dengan orang yang kita sayangi dan percayai. Mereka akan merasakan keaslian diri kita dan memberikan hal yang sama kepada kita tentang dirinya. Pada akhirnya Kepercayaan membawa kedamaian dalam pikiran, hati dan jiwa kita.
Pertanyaan seperti apa yang dapat kita tambahkan ke dalam daftar untuk mengevaluasi seberapa dapat dipercaya dan dipercayanya kita sebagai pemimpin?.
Jika kita mampu menelaah beberapa evaluasi diri dalam beberapa pertanyaan tersebut diatas, maka kita akan menyadari bahwa Kepemimpinan bukanlah tentang mendikte, memerintah sesuai dengan keinginan pribadi; ini tentang menyingsingkan lengan baju kita dan mengotori tangan kita bersama teamwork – sekali lagi NAKHINAH-. Dan bukan ANANIAH ATAU MANDOR GAPLOK.
Manajemen mikro – ANANAIAH atau MANDOR GAPLOK- menghambat kreativitas dan menurunkan motivasi teamwork. Sebaliknya, tanamkan budaya kepercayaan dalam kebersamaan - NAKHNIAH. Tawarkan bimbingan dan dukungan bila diperlukan, tetapi hindari godaan untuk mengatur secara setiap aspek pekerjaan mereka. Jika kita telah mempercayai talenta terbaik, tujuannya adalah untuk memberdayakan mereka agar dapat bekerja secara mandiri. Jika merasa perlu mengatur secara mikro atau memaksakan ide-ide kita sendiri kepada mereka, mengapa repot-repot memamanage Organisasi bersama orang Orang terbaik kita?.
Ingat: Percayalah bahwa anggota team memiliki keterampilan dan keahlian untuk menyelesaikan tugas mereka secara efektif. Tawarkan bimbingan dan dukungan bila diperlukan, tetapi hindari godaan untuk mengatur secara mikro (sesuai dengan keinginan kita pribadi) setiap aspek pekerjaan mereka.
Saya telah melihat banyak anggota level pimpinan dalam sebuah Oragnisasi yang hanya meniru apa yang dialkukan pimpinan tertinggi, yang hanya mampu memerintah, mendikte subordinat (dalam istilah mereka membimbing) tentang berbagai pencapaian yang diharapkan. Irnonia semua dibungkus dengan rasa Syar’i, yang disebut sebagai SAMIKA WA ATOKNA.
Yang terakhir yang saya simpulkan dari berbagai bahan bacaan adalah, Tindakan (prilaku nyata seorang pemimpin) berbicara lebih keras daripada kata-kata - Actions (the true behavior of a leader) speak louder than words - dan memimpin dengan memberi contoh akan menumbuhkan rasa hormat dan kekaguman di antara anggota konunitas. , last but not least, kepercayaan akan tumbuh secara sustain dari komunitas dan masyarakat luas, terhadap diri kita sebagai pemimpin dan Organisasi yang kita pimpin.