KULTUS INDIVIDU YANG MENYESATKAN.

Alzaytun Indonesia adalah sebuah mahakarya dari semangaT kebersamaan atau NAHNIAH, dan diseyogjakan oleh pimpinan untuk tidak mengedepankan ANANIAH yang bermakna budaya yang mengidealkan individu - KULTUS INDIVIDU -, budaya Nahniah kita rasakan beberapa tahun sejak proyek spektakular ini berjalan secara pisik, dimana antara pimpinan dan team work hand in hand secara aktif, bahkan Alzaytun itu sendiri oleh banyak pihak di sebut sebagai Pesantren terbesar di Asia Tenggara.

Setelah masa masa indah tersebut diatas, kemudian hampir setiap waktu/ hari, kita dibombardir dengan penggambaran persona yang sukses; dari gagasan bahwa satu individu dapat membangun Alzaytun Indonesia, dari nol seperti adanya sekarang ini. Bombardemen positive dan negetaive menjadi satu sehingga persona tersebut menjadi sangat terkenal, influencer yang menginspirasi, sehingga banyak orang mengatakan bahwa keberhasilan itu dari bakat pribadi, ketabahan, dan ketekunan.

Namun penghormatan individu ini sering melewatkan aspek penting dari apa artinya mencapai tingkat kesuksesan yang begitu tinggi di dunia modern: Yakni bekerja dengan orang lain. Untuk menghasilkan modal mensukseskan impian kita, untuk itu diperlukan kerja keras kelompok serta membentuk jaringan, berkomunikasi, dan bekerja dengan dunia perbankan, dan tokoh tokoh ternama untuk menghasilkan basis pengikut dan pendukung sebuah proyek besar. Untuk membuat rencana besar sukses, dibutuhkan dukungan keuangan melalui komunitas dan atau pinjaman dari perbankan dan lain sebagainya. Bahkan untuk keberhasilan proyek besar tersebut terkadang sudah tidak ada lagi batasan antara edukasi dan pemanfaatan obesesi komunitas pendukung, semua dilakukan sampai saat ini, untuk sesuatu yang kemudian meleset jauh dari tujuan semula.

Intinya, bahwa mahakarya tersebut diatas adalah hasil kerja sama antara pemimpin effektif dan anggota komunitas yang mendukungnya, Oleh karena itu, tidak ada yang sepenuhnya hasil dari kehebatan sendiri. Namun karena mitos tentang individu yang sukses sendiri sangat meresap dan terasa dipaksakan di tengah komunitas, maka sudah saatnya bagi kita untuk bertanya pada diri sendiri mengapa dan kapan kita mulai menghasilkan kultus individu ini, agar ke depan kita mampu hidup sebagai komunitas di antara masyarakat besar lainnya di Bumi pertiwi.

Setting socia cultural yang berobah setiap saat, di dukung oleh kemajuan teknologi, dan banyak aspekta yang menekan kehidupan masyarakat telah membawa obsesi ini terhadap individu. Ironinya kultus individu ditengah komunitas kita di pertajam sedemikian rupa seakan itu menjadi ikatan syar’i antara pemimpin dan yang dipimpinnya, bahkan telah meluas menjadi manipulasi yang disengaja untuk mempertahankan diri dan keluarganya agar terbebas dari kompetisi sehat, Sementara saya lihat bahwa elemen-elemen dalam komunitas kita telah mendorong pemujaan individu yang dilarang dalam Islam tersebut. Mengapa bisa terjadi?. Karena karakter tersebut di pompakan kepada para pimpinan komunitas pada peringkatnya masing masing, yang menerimanya dengan SAMIKNA WA ATOKNA seakan itu adalah tuntunan ilahiah, karena ganja bahasa yang disekpos sedemikian rupa, MANAGAMEN ILAHIAH.

Kita semua percaya atas kisah kisah yang di sampaikan dalam Alkitab bahwa individualisme dan kultus individu abad-abad sebelumnya, seperti yang dikisahkan dalam cerita yang membentuk konstruksi sosial seperti feodalisme ala firaun, yang memimpin dengan gaya manipulative dan memaksakan kepada ummatnya bahwa dialah kebenaran itu. Dan berhasil, sampai kedatangan Musa AS dan Harun AS yang sekuat tenaga berhasil menaklukkan Firaun dan menbawa kaum ibrani keluar dari mesir.

Namun perjalanan singkat ke tanah yang dijanjikan tidak kunjung sampai, karena kemelut antara harun dan musa serta tokoh tokoh yang masih berkutat bahwa keluar dari mesir adalah keputusan yang salah, sebagai kompensasi dimanfaatkanlah emas yang diperolehnya untuk membuat miniatur sapi sebagai sarana penyembahan dan tidak dilarang oleh Harun AS dengan berbagai petimbangan keutuhan kebersamaan sampai Musa kembali dari turnisa, dan marah besar menuduh Harun berkhianat, yang kemudian menyesal seumur hidupnya, karena tidak mampu membawa ummatnya ke tanah perjanjian.

Kisah sebagai ibrah li ulil abrar diatas, ternyata sama sekali tidak kita ambil sebagai pembelajaran, bahkan menggunakan masa lalu tersebut untuk membentuk hal yang hampir sama di masa kini, bahkan lebih penting lagi bahwa kita mencoba memaksakan pola masa lalu untuk berlanjut ke masa kini dan mempengaruhi komunitas dengan jejalan ideologi individualistik dengan tujuan individu. Ironinya untuk mencegah hal hal negative yang merugikannya, digunakanlah pola kepemimpinan manipulative, untuk mengorbankan orang orang disekilingnya , dengan memanipulasi cerita Musa, Harun dan Samiri.

Saya teringat apa yang dikatakan oleh Menteri Agama Jenderal Alamsyah Ratuprawira Negara ,” Ummat Islam [tentu saja kini termasuk komunitas kita] itu seperti ayam kampung, ada hajatan, ada upacara kematian dan lain lain, ayam dipotong, dijadikan gule, opor, soto, dilahap habis, lalu ayam dilupakan”. Beliau adalah menteri agama terbaik dalam sejarah, dan kompetitor Jenderal Ali Murtopo, yang menghidupkan kembali [psedo reincarnation] cita cita Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, untuk tujuan subyektif, yang dampaknya kita rasakan. Sementara beliau telah berwasiat bukan hanya untuk anak anaknya tetapi untuk ummat Islam keseluruhan “ agar kembali ke bumi pertiwi, taat pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945”.

Sudah waktunya kita introspeksi, dan menjauhkan diri dan komunitas dari penyakit kultus individu yang dilarang oleh ajaran yang kita perjuangkan. Kita harus melihat kebelakang bahkan saat catatan ini dibuat, betapa kita mampu menanggung rasa sakit, kecemasan, ketakutan, dan risiko yang luar biasa yang datang dalam kehidupan kebersamaan kita, kita telah menghabiskan tahun-tahun yang melelahkan dari keuangan, situasional, dan ketidakamanan komunal untuk menginkubasi obsesi mulia kita. Tetapi selalu tersandung dengan muskilah ditengah pujian orang terkait dengan mahakarya monumental kita, yang di anggap sebagai karya individual.

Sayangnya, karena keyakinan yang dipaksakan tersebut diatas, kita sebagai individu atau sebagai komunitas bertanggung jawab gagal untuk memahami fakta yang tak terelakkan bahwa untuk bertahan hidup, kita harus berinteraksi dengan anggota masyarakat di tanah air dengan penuh kesadaran emosional yang stabil, dan jauh dari keinginan untuk mengisolasi diri dan komunitas, di sast yang sama keterikatan kita dengan masyarakat luas hanya kita gunakan untuk kepentingan pribadi dan komunal, kemudian seperti kata Jenderal Alamsyah masyarakat yang menjadi sumber dukungan utama kita lupakan.

Intinya- jika kita tidak berusaha untuk menyadari bahwa kultus individu itu merupakan penyalah gunaan keimanan dan ketauhidan kita, maka sebesar apapun upaya positive yang dilakukan, kita akan tergadai dengan keinginan keinginan subyektif dan manipulative, yang akibatnya adalah datangnya parmasalahan [muskilah] yang seakan tidak pernah berakhir, yang jika salah mamanage muskilah tersebut, akan berakhir [naudhubillah] dengan di ambil paksanya Mahakarya yang kita perjuangan dengan tenaga dan airmata.

Walhasil untuk mereka yang masih mempertahankan sejarah perjuangan kebersamaan, maka inilah waktunya untuk kembali ke khittah, yakni Membangun dan mendidik adalah semata mata untuk beribadah kepada Allah SWT. Serta berusaha dengan keberanian moral untuk mengembalikan kinerja managerial yang sehat, yang semua keputusan berdasar pada musyawarah, dan bukan oleh manipulasi satu dua orang seperti yang terjadi setelah penyakit kultus individu tertularkan secara massive.

Myr Agung Sidayu, anggota Pembina Yayasan Pesantren Indonesia